REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan anggota DPR dari Fraksi Hanura, Dewie Yasin Limpo meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis bebas dirinya. Dewie bersikukuh jika dirinya tidak merampok uang rakyat, serta tak merugikan negara dalam kasus proyek pembangunan pembangkit listrik di Papua.
Menurutnya, proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH) di Kabupaten Deiyai, Papua, yang diusulkannya adalah perjuangan kesetaraan pembangunan di seluruh provinsi, terutama di Indonesia Timur.
"Saya memohon kiranya majelis hakim yang mulia agar membebaskan saya dari segala dakwaan dan tuntutan hukum," katanya saat membacakan pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (30/5).
Dewie merasa tidak sanggup jika di usianya yang sudah 57 tahun, harus mendekam dalam penjara. Apalagi, kondisi kesehatannya dirasa semakin hari semakin menurun. Ia mengaku menderita tumor selaput otak juga peyakit Saluran Kemih dan Batu Ginjal yang dideritanya.
"Saya harus segera melakukan Gamma Knife untuk menghambat berkembangnya tumor selaput otak tersebut," ujarnya.
Ia juga merasa, hukuman yang dijalaninya sangat berpengaruh terhadap psikologis anak-anaknya. Apalagi, setelah anak-anaknya menerima cemoohan dari masyarakat karena mempunyai ibu yang dicap sebagai koruptor. Bahkan, yang lebih menyakitkan menurutnya adalah ketika Dewie tidak bisa menghadiri pernikahan anaknya.
"Itu sangat menyakitkan hati seorang ibu yang melahirkan anak-anak, tetapi tidak bisa melihat dan menghadiri pernikahannya," ucap Dewie.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK meminta majelis hakim menghukum kedua terdakwa dengan hukuman masing-masing 9 tahun penjara. Keduanya juga diharuskan membayar denda masing-masing sebesar Rp 300 juta, subsideir enam bulan kurungan. Jaksa juga menuntut hak dipilih dan memilih Dewie dicabut.
Dewie dan staf ahlinya, Bambang Wahyuhadi dinyatakan terbukti menerima suap sebesar 177.700 dolar Singapura (sekitar Rp 1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan seorang pengusaha, Setiady Jusuf kepada Dewie Yasin Limpo.
Uang suap yang diterima Dewi dimaksudkan agar dirinya bersedia mengawal anggaran dari pemerintah pusat terkait rencana pembangunan Pembangkit Listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.
Dewie kemudian meminta Irenius Adii agar mempersiapkan dana pengawalan anggaran sebesar 10 persen dari anggaran yang diusulkan, sebagai imbalan bagi dirinya.
Setelah melakukan berbagai negosiasi, Pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih, Setiadi Yusuf bersedia memberikan dana pengawalan kepada Dewie sebesar 7 persen dari anggaran yang diusulkan, dengan syarat perusahaannya yang menjalankan tender proyek tersebut.
Sehingga, apabila Setiadi gagal menjadi pelaksana proyek, maka uang harus dikembalikan. Dewie kemudian meminta asisten pribadinya, Rinelda Bandaso untuk menjelaskan bahwa dirinya telah menyampaikan proposal pembangunan Pembangkit Listrik di Kabupaten Deiyai, Papua kepada Badan Anggaran.
Setelah mendengar penjelasan, Setiadi pun sepakat menyerahkan setengah dana pengawalan, sebesar Rp 1,7 miliar dalam bentuk dolar Singapura. Uang pun diserahkan pada 20 Oktober di Resto Baji Pamai Mal Kelapa Gading Jakarta Utara dari Irenius dan Setiady kepada Rinelda yaitu sebesar 177.700 dolar Singapura.
Atas perbuatannya tersebut, jaksa merasa Dewie dan Bambang layak disangkakan pasal 12 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.