REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana, Mudzakir menanggapi persoalan perseteruan pengurus RT dan RW se-DKI Jakarta dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pengurus RT dan RW tersebut belum lama ini menolak kebijakan Ahok yang dinilai mencederung memberatkan.
Menurutnya, sesungguhnya seorang pemimpin tidak boleh bertindak otoriter. Seharusnya, kata dia, pemimpin memperlakukan pengurus RT dan RW secara persuasif, sehingga mereka bisa bekerja secara maksimal.
"Jadi, Ahok tidak bisa main pecat saja kalau tidak setuju dan sebagainya. Seharusnya didengar dulu kenapa dia komplain. Didengar dulu, jangan otoriter," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (31/5).
Mudzakir melanjutkan, Jakarta bukanlah milik seorang gubernur tapi milik bersama dan dikelola secara bersama-sama. "Jangan sampai, jika tidak setuju degan gubernur, langsung pecatin-pecatin," ujarnya.
Memang, kata dia, pengurus RT dan RW tersebut diberikan pesangon setiap bulan. Tapi, uang pesangon dengan tanggung jawabnya itu jauh berbeda. Karena, kata dia, jika ada kejahatan di lingkungannya pasti pengurus RT dan RW yang dipanggil.
"Saya dulu pengalaman juga jadi RT dan RW. Jadi, kita lebih pada sosialnya ketimbang bekerja secara profesional sebagai pegawai negeri. Itu kan hanya uang transport aja yang diberikan," jelasnya.
Jadi, lanjut dia, hargailah mereka karena republik ini tanpa RT dan RW akan menjadi kesulitan. "Karena RT dan RW-lah yang tahu persis gelas pecah, piring terbang itu hanya RT dan RW. Kalau gubernur tidak akan tahu yang seperti itu," ucapnya.
Ia menambahkan, pengurus RT dan RW itu bukanlah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Andaikan mereka menerima honorarium itu tak lebih hanya merupakan pernghargaan, seperti halnya ung transport.
"Uang transport itu memang tidak seberapa, tapi kan dia bekerja 24 jam. Maksud saya, kalau PNS setelah urusan kantor selesai, ya selesai," jelasnya.