REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istri Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Tin Zuraida selesai menjalani pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (1/6). Setelah diperiksa kurang lebih dari 11 jam atau serupa dengan pemeriksaan kepada Nurhadi pada Senin (30/5) lalu.
Tin Zuraida mulai menjalani pemeriksaan sekitar pukul 10.00 WIB, dan keluar pada pukul 21.00 WIB. Namun tak ada satu pun pernyataan yang keluar dari bibir perempuan yang juga pegawai negeri sipil di MA tersebut, saat awak media meminta komentarnya.
Termasuk soal uang Rp 1,7 miliar yang disita KPK di kediaman Nurhadi beberapa waktu lalu. Tin yang mengenakan batik coklat itu sedari keluar pintu berjalan merunduk menghindari para awak media. Ia yang dikawal sejumlah orang bergegas masuk ke dalam mobil bernopol B 1125 SJP.
Diketahui, pemeriksaan terhadap istri Nurhadi tersebut pada hari ini untuk menjadi saksi dalam lanjutan kasus dugaan suap pengajuan peninjauan kembali (PK) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Tin Zuraida diperiksa sebagai saksi DAS (Doddy Ariyanto Supeno)," kata Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi Rabu (1/6).
Yuyuk juga mengatakan, istri Nurhadi akan dimintai keterangan terkait perkara yang menyeret nama suaminya tersebut. Selain itu, ia juga akan dimintai keterangan terkait penggeledahan yang dilakukan penyidik KPK di kediaman Nurhadi beberapa waktu lalu, termasuk temuan Rp 1,7 miliar.
"Dimintai keterangan seputar pengetahuannya terkait dengan kasus PN Jakpus dan tentang penggeledahan yang dilakukan di rumahnya," ujar Yuyuk.
Selain istri Nurhadi, Tin sendiri diketahui juga merupakan pegawai negeri sipil di MA, ia pada tahun 2014 tercatat sebagai Kepala Pusdiklat Manajemen dan Kepemimpinan MA. Belum diketahui secara pasti apa kaitan Tin dalam kasus ini sehingga diperiksa penyidik.
Diduga pemeriksaan Tin ini terkait dengan penemuan uang sebesar Rp1,7 miliar di rumahnya beberapa waktu lalu saat digeledah. Selain memeriksa istri Nurhadi, penyidik lembaga anti rasuah itu turut memanggil dua orang pekerja di rumah Nurhadi yakni Kasirun alias Jenggot dan Sairi Alias Zahir.
Mereka berdua juga akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Doddy. Selain itu, Yuyuk mengatakan dalam menguak kasus ini KPK tidak menutup kemungkinan untuk memeriksa sejumlah saksi, termasuk Ketua Mahkamah Agung (MA), Hatta Ali. Diketahui, MA merupakan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
"Bisa saja (Ketua MA) dimintai keterangan," ujarnya.
Menurut Yuyuk, terbukanya peluang memanggil Hatta dalam kasus ini tentu melihat sejumlah hal. Termasuk kebutuhan keterangan yang diperlukan penyidik dalam mengembangkan kasus ini dan menelusuri jejak-jejak pihak lain yang diduga terlibat.
"Kalau penyidik membutuhkan keterangan dari yang bersangkutan yang relevan dengan kasus yang disidik," ucap Yuyuk.
Sebelumnya, KPK juga telah dua kali memeriksa Nurhadi pada dua pekan sebelumnya, yakni pada Senin 30 Mei 2016 dan Selasa 24 Mei 2016. Namun, tak banyak pernyataan yang dilontarkan Nurhadi usai selesai dari pemeriksaan selama 11 jam.
Nurhadi diduga mengetahui perkara-perkara yang berkaitan dengan kasus dugaan suap yang telah menjerat Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Edy Nasution dan seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno.
Nurhadi juga telah diminta KPK untuk dicegah berpergian ke luar negeri dalam kurun waktu enam bulan ke depan. Bahkan, ruangan kerjanya di MA dan kediamannya telah digeledah KPK dan ditemukan uang senilai Rp 1,7 miliar.
Dalam kasus suap PN Jakpus, diketahui KPK telah menetapkan dua orang sebagai tersangka pasca operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Rabu (20/4) lalu. Keduanya, yakni Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, dan seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno.
Dari operasi itu, KPK menemukan uang Rp 50 juta dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu yang ditengarai sebagai uang 'pelicin' terkait pendaftaran atau pengajuan perkara peninjauan kembali (PK) di PN Jakarta Pusat.
KPK kemudian menjerat Doddy selaku pemberi dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara Edy sebagai penerima dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.