REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Istri Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Tin Zuraida bungkam usai diperiksa penyidik KPK sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan permohonan PK di PN Jakarta Pusat.
Tin yang mengenakan terusan batik dipadu kardigan warna putih, Rabu itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan awak media usai diperiksa selama 11 jam di gedung KPK.
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan MA tersebut menutupi wajahnya dan berjalan dengan dituntun pengawal sampai masuk ke mobilnya.
"Istri Nurhadi benar diperiksa hari ini untuk saski DAS (DOddy Aryanto Supeno) untuk dimintai keterangan seputar pengetahuannya terkait dengan kasus di PN Jakarta Pusat dan tentang penggeledahan yang dilakukan di rumahnya," kata Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriani di Jakarta.
Selain Tin, KPK hari ini juga memeriksa dua orang pegawai rumah Nurhadi yaitu Kasirun alias jenggot dan Sairi alias Zahir.
Dalam kasus ini KPK juga sudah memeriksa Nurhadi sebanyak dua kali yaitu pada 24 dan 30 Mei 2016.
KPK juga sudah mencegah Nurhadi untuk bepergian keluar negeri dan menggeledah rumahnya di Jalan Hang Lekir pada 21 April 2016 dan menemukan uang total Rp1,7 miliar yang terdiri dari sejumlah pecahan mata uang asing yang diduga terkait dengan pengurusan sejumlah kasus.
Saat ini penyidik KPK juga masih mencari mantan supir Nurhadi bernama Royani yang sudah dua kali dipanggil KPK tapi tidak memenuhi panggilan tanpa keterangan sehingga Royani diduga disembunyikan.
KPK menduga Royani adalah orang yang menjadi perantara penerima uang dari sejumlah pihak yang punya kasus di MA. Royani sudah diberhantikan oleh MA sejak 27 Mei 2016 karena tidak masuk kantor selama 46 hari.
Dalam perkara ini, KPK baru menetapkan dua tersangka yaitu panitera/sekretaris PN Jakpus Eddy Nasution dan pegawai PT Arta Pratama Anugerah pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap keduanya pada 20 April 2016.
Satu konglomerasi bisnis diduga terlibat kasus ini karena sejumlah anak perusahaannya tengah berperkara di Mahkamah Agung. Doddy diduga sebagai orang yang menjadi orang yang menangani sejumlah perkara tersebut dan melaporkan kepada induk konglomerasi bisnis itu.
Edy Nasution disangkakan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tengan penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.