REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi (Migas) dinilai terlampau lambat. Alasannya, hingga kini prosesnya tidak diiringi dengan kejelasan target waktu oleh pemerintah dan parlemen.
Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) mendorong pemerintah dan parlemen segera menyelesaikan RUU Migas ini. Kebijakan yang masuk dalam program legislasi nasioanal (prolegnas) di parlemen itu diharapkan tidak terus tertunda.
"Kami sangat menyesali sebenarnya. Serikat pekerja sudah sampaikan aspirasi tapi proses revisi ini masih sangat lambat," kata Presiden FSPPB, Noviandri, Rabu (1/6).
Noviandri menuturkan, banyak kelompok yang memang berusaha agar proses revisi itu tidak terlaksana. Alasannya, banyak oknum yang memang memanfaatkan celah UU Migas untuk mencari keuntungan.
Dia pun menilai, salah satu kelompok yang membuat proses revisi berjalan lambat juga berasal dari anggota parlemen. Beberapa anggota parlemen diniali menolak adanya perubahan dalam UU Migas. "Kita melihat DPR itu lembaga politik. Semua punya kepentingan. Nah beberapa anggota partai pasti ada yang bermain di migas. Dan mereka ada yang nyaman dengan status UU Migas sekarang," ujar dia.
Di tengah harga minyak mentah dunia yang anjlok, revisi UU Migas diharapkan menjadi katalis positif mendongkrak industri migas di Tanah Air. Noviandri berharap, iklim investasi hulu migas bisa semakin baik.
Sementara itu, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Satya W Yudha menjelaskan, saat ini proses revisi memang terus difinalisasi. Namun, pandangan tiap fraksi yang berbeda-beda membuat jalannya proses revisi itu menjadi lambat.
"Bila proses penyatuan pandangan ini bisa selesai di Agustus mungkin di tahun ini revisi UU Migas bisa selesai," ucapnya.