REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) kembali mempertahankan peringkat Indonesia pada level BB+/positive outlook pada 1 Juni 2016. Menurut Ekonom dari Kenta Institute, Eric Sugandi, pengaruh pemberitaan rating S&P ini hanya bersifat jangka pendek.
"Sebenarnya banyak ekonom, termasuk saya yang sudah duga tidak akan ada rating upgrade dari S&P. Karena ada risiko budget deficit naik dan kinerja pertumbuhan ekonomi juga tidak optimal," kata Eric Sugandi pada Republika.co.id, Kamis (2/6).
Eric menjelaskan, pada pergerakan yield Surat Berharga Negara (SBN) dan rupiah sampai Kamis siang, pernyataan dari S&P tentang risiko pembengkakan defisit anggaran bisa berdampak negatif ke obligasi pemerintah.
"Dampaknya price bisa turun atau yield naik, tapi short lived (jangka pendek) berkaitan dengan persepsi saja. Terutama concern pelaku pasar terhadap risiko pembengkakan defisit fiskal. Fundamental ekonomi kita sebenarnya tidak terlalu jelek terlepas dari apa yang sudah disampaikan S&P," kata Eric.
Menurut Eric, peringkat S&P kaitannya lebih ke investasi portofolio, bukan ke investasi sektor riil. Ketika kondisi ekonomi Indonesia masih baik di periode Presiden SBY, kata Eric, S&P sebenarnya terlambat memberikan rating upgrade dibandingkan Fitch, Moody's, dan Japan Credit Rating Agency yang sudah memberikan investment grade untuk Indonesia.
Ia menegaskan, pengaruh negatif dari berita S&P ini terhadap harga SBN dan rupiah hanya dalam jangka sangat pendek. Apalagi rating agency lain tetap mengafirmasi layak investasi untuk Indonesia.
"Jadi berita dari S&P ini tidak akan trigger massive capital outflows dari Indonesia. Capital outflows tetap ada tapi tidak masif," ujarnya.
Baca juga: Menkeu Pertanyakan Alasan S&P tak Naikkan Peringkat Indonesia