REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Parlemen Ukraina mengesahkan reformasi yudisial, yang dianggap dibutuhkan untuk memberantas korupsi oleh negara Barat pendukungnya pada Kamis (2/6). Reformasi dilakukan sebagai pemungutan suara pertama untuk konstitusi, yang koalisi berkuasa dorong pascaperombakan pemerintahan pada April.
Suap di sistem pengadilan dinilai sebagai hambatan utama upaya reformasi, yang dibiayai Dana Moneter Internasional (IMF) sebanyak 17,5 miliar dolar Amerika Serikat.
Rancangan aturan itu untuk membatasi pengaruh politik dalam penunjukan hakim, selain kekebalan dalam perkara malapraktik.
Usulan itu didukung 335 anggota parlemen, 35 suara lebih dari yang dibutuhkan untuk mengubah undang-undang dasar.
Hasilnya diterima pendukung Ukraina, di antaranya Amerika Serikat, Uni Eropa, termasuk IMF, yang ikut mendorong Kiev meningkatkan usahanya memerangi korupsi.
IMF, yang berunding untuk mengucurkan dana tambahan senilai 1,7 miliar dolar AS, memperingatkan akan menunda bantuan jika tidak ada peningkatan dalam penyelesaian masalah.
"Kami akan mengembalikan hak atas kebenaran rakyat Ukraina, begitu juga hak atas keadilan, dan perjuangan mendapatkan pengadilan adil di negeri ini. Dalam dua pekan belakangan, meja kerja saya dipenuhi permintaan dari para mitra, pemimpin Uni Eropa, AS, Kanada, Australia, dan Jepang, menyatakan bahwa kalian dan saya adalah bagian dari parlemen. Jangan hentikan langkah mereformasi dan menerapkan pembaruan yudisial," kata Presiden Petro Poroshenko ke parlemen sebelum pemungutan suara.
Pejabat tinggi Uni Eropa Federica Mogherini dan Johannes Hahn mengharapkan pemungutan suara itu membuka jalur perubahan lain dalam konstitusi, termasuk aturan untuk memberi kemerdekaan lebih ke wilayah yang dikehendaki dalam perjanjian perdamaian Minsk dengan pemberontak dukungan Rusia.
"Kami harap pemungutan suara hari ini menjadi momentum penggunaan amandemen konstitusi, yang tertunda, terkait masalah desentralisasi dan pembaruan penting lain," katanya.
Legislasi yudisial ditentang sejumlah anggota parlemen, termasuk seorang perempuan tentara Nadiya Savchenko, yang pulang pada pekan lalu setelah dua tahun mendekam di penjara Rusia dan dianggap banyak rakyat Ukraina sebagai pahlawan. Dalam permohonan emosional, ia meminta parlemen tidak mengubah konstitusi atau negara ini akan meledak layaknya granat.