REPUBLIKA.CO.ID, PHOENIX -- Mantan juara tinju dunia kelas berat Muhammad Ali meninggal di usia 74 tahun pada Jumat (3/6), waktu Amerika. Ali memiliki rekor kecakapan dalam bertinju yang belum terlampaui dan sikap kontroversialnya menjadikannya sebagai salah satu tokoh paling terkenal dari abad ke-20.
Ali sudah lama menderita sindrom Parkinson, yang mengganggu kemampuan berbicaranya dan membuat atlet yang dulu tampak gagah itu menjadi tahanan di tubuhnya sendiri.
Namun, proklamasi Ali saat muda bahwa ia adalah tokoh yang "terbesar" terbukti benar sampai akhir hayatnya bagi jutaan orang di seluruh dunia yang mengaguminya. Dia terkenal karena keberaniannya baik di dalam dan di luar ring.
"Sebagian diriku hilang, bagian terbesar," kata George Foreman, seorang mantan petinju kelas berat dan salah satu lawan paling tangguh Ali di ring, di Twitter setelah berita kematian Ali.
Roy Jones Jr, mantan petinju juara yang dibesarkan selama masa kejayaan Ali, juga mengatakan dalam sebuah cuitan bahwa dia sangat sedih sekaligus lega. "Hatiku sangat sedih namun menghargai dan lega bahwa yang 'terbesar' kini beristirahat di tempat terbaik."
Hanya sedikit pihak yang dapat membantah kecakapan atletiknya pada masa kejayaannya di tahun 1960-an. Dengan kecepatan tinju dan kelincahan kakinya, ia bisa seperti yang ia katakan, mengapung seperti kupu-kupu dan menyengat seperti lebah.
Dia adalah orang pertama yang memenangkan kejuaraan kelas berat tiga kali. Tapi Ali menjadi lebih dari seorang atlet yang populer dan menarik. Dia berbicara dengan berani melawan rasisme di tahun 60-an, serta Perang Vietnam.