REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan mengharapkan pemerintah dapat benar-benar menghentikan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan di berbagai daerah guna menjaga kondisi lingkungan di Tanah Air.
"Terdapat tendensi untuk menggunakan logika fatalis dalam melihat kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang semakin kritis. Alih-alih melakukan pemulihan dan menghentikan faktor yang menyebabkan kondisi kritis tersebut, pemerintah malah mendorong eksploitasi dan perusakan lebih lanjut dari lingkungan hidup dan sumber daya alam," kata Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nur Hidayati dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (4/6).
Menurut dia, saat ini tanda-tanda penyelesaian problem struktural lingkungan hidup dan sumber daya alam masih di langit sebagaimana janji Nawacita, antara lain karena dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi yang menitikberatkan deregulasi perizinan yang malah mempermudah proyek yang mengancam lingkungan hidup.
Ia mengingatkan kawasan ekologi unik dan penting seperti kawasan ekosistem rawa gambut, kawasan ekosistem kars dan kawasan ekosistem pesisir yang membentang dari Aceh hingga Papua mengalami keterancaman.
Demikian juga dengan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terancam dengan berbagai proyek reklamasi antara lain di kawasan pesisir Jakarta, Teluk Benoa Bali, pesisir Makassar, Teluk Palu, Teluk Kendari. Bukan hanya menghancurkan kawasan pesisir yang direklamasi, tapi juga kawasan yang wilayahnya diambil sebagai bahan material reklamasi.
"Pulau-pulau kecil terancam tenggelam oleh industri tambang seperti di Babel, Pulau Bangka, Pulau-Pulau di Maluku Utara. Persoalan lingkungan semakin kompleks karena bicara lingkungan hidup akan selalu bicara hulu dan hilir, saling terhubung. Daya rusak tambang di Sumsel, Kalsel, dan Kaltim untuk memasok kebutuhan PLTU di Jawa dan Bali, yang daya rusaknya juga begitu masif," ucapnya.
Nur berpendapat pembangunan infrastruktur skala masif yang tertuang dalam RPJMN (Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional) justru bertentangan dengan semangat Nawacita yang ingin melindungi lingkungan hidup dan menyejahterakan rakyat.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Arif Fiyanto menyatakan, perjanjian kredit dari perbankan luar negeri kepada perusahaan sektor energi di Indonesia merupakan pukulan berat bagi petani dan nelayan yang telah berjuang untuk melindungi ladang dan wilayah perikanan tangkap mereka dari rencana seperti pembuatan PLTU di daerah mereka.
"Padahal dana tersebut akan jauh lebih bermanfaat jika digunakan untuk membangun potensi energi terbarukan yang sangat besar di Indonesia, yang akan memberikan listrik bersih lagi aman bagi masyarakat saat ini, serta bagi generasi mendatang," kata Arif Fiyanto.