REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina berharap melembagakan pembagian intelijen antiteror dengan Prancis. Laporan Xinhua menyebutkan ada pertukaran pejabat di antara kedua negara tersebut.
Ratusan orang tewas dalam beberapa tahun belakangan di Xinjiang, Cina barat, yang sebagian besar penduduknya suku Uighur. Pemerintah menyalahkan kekerasan kepada pegaris keras, yang ingin mendirikan negara merdeka Turkistan Timur.
Wakil Kepala Staf Pasukan Pembebasan Rakyat Cina, Laksamana Sun Jianguo mengatakan kepada Sekretaris Jenderal Pertahanan dan Keamanan Nasional Prancis, Louis Gautier Cina dan Prancis memiliki ikatan baik antarmiliter.
"Cina sangatlah terpengaruhi oleh sejumlah serangan teroris di Prancis pada tahun lalu," kata Sun kepada Gautier dalam pertemuan sampingan di forum keamanan Singapura, Sabtu malam (4/6).
Kelompok bersenjata ISIS mengklaim berada di balik serangkaian serangan di sejumlah titik hiburan di Paris pada November, serangan yang menewaskan 130 orang dan melukai banyak orang lain. "Saya yakin perang melawan terorisme itu sebagian besar merupakan perang terhadap intelijen. Cina berharap melakukan kerja sama intelijen dengan Prancis terkait masalah penangkalan terorisme," kata Xinhua mengutip Sum, "".
Prancis sepakat meningkatkan kerja sama intelijen yang berhubungan dengan terorisme. Cina telah mencari dukungan dari pihak Barat untuk perang melawan teror mereka sendiri sejak adanya serangan di Paris.
Pemerintah menyalahkan kebanyakan serangan teroris di Cina kepada pegaris keras pemberontak. Namun sejumlah kelompok hak asasi manusia mengatakan kebijakan mereka yang mengekang di wilayah itulah yang menyebabkan terjadinya kerusuhan. Pemerintah menyangkal tuduhan tersebut.
Sejumlah negara barat pada umumnya enggan berbagi dalam intelijen dengan Cina atau bekerja sama dengan mereka. Pakar mandiri masalah Uighur mengatakan Cina hanya memberikan sedikit bukti untuk membuktikan keberadaan kelompok keras di Xinjiang.
Amerika Serikat dan Uni Eropa juga telah memberikan kritikan mereka akan apa yang mereka lihat sebagai pelanggaran hak asasi manusia di wilayah itu, termasuk penekanan terhadap sejumlah praktik keagamaan dan budaya.