REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Kepergian Muhammad Ali membawa duka bagi umat Muslim dunia, apalagi bagi Muslim Amerika. Ali dinilai sebagai pahlawan Muslim di negara yang minoritas.
"Amerika harus berterima kasih kepada Tuhan untuk dia. Dia adalah seorang pahlawan Amerika," kata Talib Shareef, presiden dan imam masjid Masjid Muhammad di Washington, dikutip dari The Malay Mail Online, Selasa (7/6).
Sejak gejolak hak sipil dan gerakan Muslim kulit hitam tahun 1960-an hingga peristiwa 11 September 2001, Ali hadir sebagai sosok yang mencerminkan Muslim AS di arus utama masyarakat. Almarhum dipandang sebagai pekerja sosial dengan mendedikasikan penghasilannya untuk amal, hingga menolak ikut terlibat dalam perang di Vietnam.
"Ketika kita melihat sejarah komunitas Afrika-Amerika, salah satu faktor penting dalam mempopulerkan Islam di Amerika adalah Muhammad Ali," Warith Deen Mohammed II, putra mantan pemimpin Nation of Islam.
Dengan kurang lebih 3,3 juta pengikut di Amerika Serikat, Muslim membuat sekitar 1 persen dari populasi. Jumlah tersebut sebagian besar merupakan imigran dan Afrika-Amerika yang telah memeluk Islam sejak awal.
Ali menjadi orang yang dikagumi sebab keberaniannya memeluk Islam, bergabung bersama Nation of Islam, dan mengganti namanya Cassius Clay pada tahun 1964. Keputusan tersebut seakan dipandang sebagai pengkhinatan terhadap Amerika, apalagi dengan penolakan ikut terlibat perang Vietnam.
Ali pun sempat mengatakan keberatannya seputar pernyataan Calon Presiden Amerika dari partai Republik Donald Trump yang mendkrisminasikan Islam untuk berada di negara itu. Di samping itu, mantan legenda tinju ini juga dengan tegas menyatakan ketidaksukaan atas sikap ekstrimis Islam yang menawan beberapa wartawan dari kantor berita internasional.
"Muhammad Ali adalah hadiah dari Tuhan, tidak hanya untuk umat Islam, tetapi untuk dunia," Nihad Awad, direktur eksekutif Council on American-Islamic Relations.