REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Ramadhan di Eropa di mulai serentak pada Senin 6 Juni 2016. Bagi imigran Muslim pencari suaka dari Suriah suasana Ramadhan di kampung halaman merupakan impian yang tidak mungkin lagi dirasakan.
Kampung halaman yang telah porak poranda memaksa Khairallah Swaid (25), harus meninggalkan Suriah dan menjadi pencari suaka ke Jerman. Swaid yang sejak awal perjalanan pencarian suaka terpisah dengan istrinya berharap dapat dipertemukan kembali.
"Anda tidak dapat lagi merasakan Ramadhan dengan makanan dan kenikmatan yang layak di sini," kata dia seperti dilansir Reuters, Selasa (7/6). Istri Swaid terpisah ribuan kilometer di sebuah tempat penampungan imigran di Yunani.
"Saya rindu istriku, tapi selama bulan Ramadhan saya juga akan kehilangan makanan khas ibuku lagi," ujar dia.
Swaid mengenang Ramadhan di Suriah. Beberapa hari sebelum menjelang Ramadan disiapkan makan roti pipih yang diisi dengan shawarma ayam dan pasta bawang putih.
Sayangnya hal itu tidak mungkin diwujudkan untuk saat ini, karena keterbatasan di penampuangan. Sebagian besar imigran yang tinggal di Berlin Jerman, berada di sebuah wilayah miskin dengan populasi imigran terbesar. Saat ini Swaid menghabiskan sebagaian besar bantuan 120 Euro hanya untuk membeli satu bulan makanan.
Baca juga, Oposisi Suriah Usul Gencatan Senjata Nasional Selama Ramadhan.
Pengungsi Suriah lain, Abdul Bashir Nomand merasakan untuk pertama kalinya berpuasa di tempat penampungan. Konsultan teknis Suriah ini tiba di Yunani pada Februari lalu bersama istri dan lima anak-anaknya.
"Ramadhan ini adalah kali pertama. Mari kita lihat apa yang mereka miliki untuk kita," kata dia. Layaknya pengungsi lain, Abdul Bashir juga masih merindukan kampung halamannya di Suriah.