REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program deradikalisasi terorisme yag selama ini dilakukan dinilai tidak efisien. Sebab, program deradikalisasi tidak selalu dibuat melalui proses penilaian awal.
Pakar jaringan Teroris Asia, Ahmad Baidhowi mengatakan, seharusnya program-program deradikalisasi didasarkan pada proses penilaian awal yang didapatkan dari survei ke sasaran. “Menurut saya bukan tepat atau tidak tepat (program deradikalisasi), mungkin kurang efisien karena tidak selalu membuat program tanpa melalui proses ‘assesment’,” tutur Ahmad Baidhowi usai Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Terorisme di kompleks parlemen Senayan, Rabu (8/6).
Menurut Baidhowi, agar efisien, seharusnya program deradikalisasi dibuat melalui proses penilaian awal dengan melakukan interview ke pelaku terorisme. Kunci dari pembuatan program adalah deradikalisasi adalah dengan ‘assesmen dan reassesment.’ Namun, dalam program deradikalisasi masalah yang sering tidak dapat dihindari adalah bahasa anggarannya.
Dalam penganggaran program deradikalisasi, sudah ditentukan program dibuat dengan sasaran berapa orang, sasarannya siapa maupun lokasinya dimana. Hal itu memaksa program deradikalisasi dilakukan dengan menggelar acara ceramah, pertemuan maupun sosialisasi.
“Jalannya, paling ceramah, pertemuan, sosialisasi, tapi tidak berdurasi panjang, padahal proses itu harus panjang,” ujar Baidhowi.