REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membenarkan ada pemborosan anggaran di Kementerian Keuangan. Pemborosan anggaran tersebut seperti tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Belanja Barang dan Jasa pada Sekretariat Jenderal dan Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu tahun anggaran 2013-2014.
Kepala Biro Humas BPK Yudi Ramdhan mengatakan, pemborosan yang dimaksud dalam laporan pemeriksaan tersebut adalah pengadaan yang dilakukan oleh Kemenkeu namun manfaatnya tidak sesuai yang direncanakan.
"Seperti pembayaran lisensi software tahunan yang tidak dimanfaatkan dan kemahalan harga dari penetapan HPS (harga perkiraan sendiri)," katanya kepada Republika.co.id.
Yudi mengatakan, BPK setiap semester selalu melakukan pemantauan tindak lanjut dari rekomendasi-rekomendasi yang diberikan pada laporan pemeriksaan. "Saat ini untuk Kemenkeu sedang proses pemantauan," ucapnya.
Sejauh ini, tambah Yudi, masih ada kementerian dan lembaga (K/L) yang tidak menindaklanjuti rekomendasi. Berdasarkan data pada periode 2010-2014, dari sebanyak 220.587 rekomendasi, tindak lanjut dari K/L yang sesuai rekomendasi baru 64 persen atau 142.658 rekomendasi, sisanya dikategorikan tindak lanjut yang belum sesuai rekomendasi dan belum ada tindak lanjut masing-masing 26 persen dan 10 persen.
Ihwal pemborosan anggaran di Kemenkeu ini sebelumnya diungkapkan Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi.
Berdasarkan analisisnya, ditemukan banyak hal yang tak wajar dalam laporan pemeriksaan BPK terhadap pembelian barang dan jasa di Setjen dan Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu. Contohnya adalah ditemukannya pemborosan sebesar Rp 13,22 miliar untuk sembilan pengadaan dengan nilai kontrak sebesar Rp 43,52 miliar.
"Banyak kesalahan dalam perencanaan dan realisasi anggarannya sehingga timbul modus modus pemborosan dan dugaan manipulasi atas belanja barang tersebut," ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (7/6).
Uchok menambahkan, ada juga pengadaan barang berupa anti virus McAffe sebanyak 24 ribu lisensi. Dari 24 ribu lisensi ini hanya sebanyak 10.056 lisensi yang digunakan sampai 29 september 2014.
"Berarti ada sebanyak 12.715 lisensi sekitar Rp.1,97 miliar belum dimanfaatkan atau pemborosan anggaran yang susah dimaafkan. Kalau nilai satu lisensi pertahun sebesar Rp.162.000," jelasnya.
Hal yang sama juga terjadi dalam pengadaan lisensi microsoft office professional plus sebanyak 1.500 lisensi. Tapi yang baru dipakai sebanyak 10 lisensi, dan belum dimanfaatkan sebanyak 1.490 lisensi.
Itu artinya ada pemborosan sekitar Rp 6,61 miliar yang tidak masuk akal. Kalau berdasarkan kontrak diketahui satu lisensi senilai Rp 4,43 juta.