REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Muhammad Hailuki menilai, sikap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ihwal peraturan jilbab sekolah merupakan upaya untuk meraih simpatik publik. Khususnya, untuk mendukung kepemimpinan Ahok menjelang akhir masa jabatannya.
"Bisa Pilkada 2017, bisa juga dukungan pada kepemimpinan dia selama ini. Initinya dukungan terhadap performa pemerintahan Ahok saat ini," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (9/6).
Sebelumnya, Ahok melarang sekolah-sekolah negeri memaksa siswinya mengenakan jilbab. Larangan itu disampaikannya saat memberi pengarahan kepada 1.700 kepala sekolah TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan pejabat struktural eselon III serta IV di lingkungan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, di gedung Yayasan Budha Tzu Chi, Sabtu (4/6).
Larangan seperti ini sudah pernah ia terapkan saat menjadi bupati Belitung Timur pada 2006. Ahok meminta larangan ini tidak dikait-kaitkan dengan anggapan ia anti terhadap agama Islam.
Ia tidak ingin sekolah mewajibkan siswinya menggunakan jilbab karena, menurut Ahok, jilbab adalah panggilan iman. Jika dipaksakan, ia khawatir ada siswi yang tidak menggunakannya secara serius.
Hailuki menilai, ada konsekuensi yang harus dibayar Ahok terhadap sikap tersebut. Yakni, pertentangan dai Muslim yang religius atau sejumlah ormas Islam.
"Apakah hal ini sudah dihitung oleh Ahok, saya yakin sudah dihitung. Menghitungnya dengan melihat demografi, berapa banyak Islam yang nasionalis," tutur dia.
Namun, menurut dia, persoalan larangan wajib berjilbab bukan persoalan krusial yang harus diprioritaskan Ahok. "Karena perdebatan tentang isu tersebut hanya menguras energi dan menutupi persoalan lain yang penting seperti misalnya soal reklamasi dan lainnya," ujar Hailuki.