REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi Ian Supiansyah (31 tahun), Ramadhan kali ini terasa amat berbeda dibandingkan dengan tahun lalu. Dulu, pria itu selalu menikmati kegembiraan saat bersantap sahur dan berbuka bersama keluarga di rumah. Kadangkala, keceriaan itu juga diselingi oleh gelak tawa anaknya yang masih balita.
Tahun ini, suasana Ramadhan yang penuh kehangatan seperti itu tak lagi dirasakan Ian. Pasalnya, rumah tempat tinggalnya yang berada di RT 01 RW 04 Kampung Akuarium Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, kini telah rata dengan tanah. Selain rumah milik Ian, ada ratusan bangunan hunian lain di kawasan tersebut yang turut dihancurkan aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penggusuran pada April lalu.
“Kalau diingat-ingat lagi, Ramadhan tahun ini mungkin termasuk paling berat dalam hidup saya,” ujar Ian kepada Republika.co.id, Rabu (9/6).
Saat ini, kata dia, ada puluhan keluarga korban penggusuran yang masih bertahan di tenda-tenda pengungsian yang didirikan di atas reruntuhan Kampung Akuarium Pasar Ikan. Mereka terpaksa menjalani aktivitas sehari-hari dengan fasilitas seadanya.
“Bahkan, untuk pemakaian air buat mandi saja, kami harus betul-betul berhemat. Karena ketersediaan air bersih di sini sangat terbatas,” kata Ian.
Dia mengungkapkan, para korban penggusuran Kampung Akuarium sampai hari ini masih mengandalkan pasokan air yang disumbang oleh para dermawan. Air tersebut ditampung dalam beberapa tabung besar (toren) yang terdapat di tempat pengungsian.
Keadaan para korban penggusuran itu menjadi makin sulit sejak pasokan listrik ke tenda-tenda pengungsi diputus oleh PLN. Padahal, tiga hari sebelumnya mereka masih diperbolehkan menikmati aliran listrik dari Kampung Luar Batan (tetangga Kampung Akuarium).
“Menurut kabar yang saya dengar, ada perintah dari Pemprov DKI Jakarta kepada PLN untuk memutus aliran listrik dari Kampung Luar Batang ke Kampung Akuarium. Kalau sudah malam, kami sekarang terpaksa tinggal di tenda dalam keadaan gelap tanpa penerangan,” ucap pengungsi lainnya, Jamiad (22 tahun).