REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang Pilkada dinilai menjadi sebuah produk legislasi yang dihasilkan dari nafsu berkuasa partai politik (parpol). Akibatnya, akan muncul berbagai kerancuan dalam UU tersebut.
"Setidaknya ada dua poin sebagai contohnya. Yakni soal penambahan pemeriksaan administratif calon independen dan soal hasil konsultasi KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan DPR yang bersifat mengikat," ujar pengamat politik dari Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, Jumat (10/6).
Ray mengatakan khususnya pada poin kedua, ada beberapa permasalahan yang mengemuka. Pertama, jelas akan dapat merusak indpendensi KPU khususnya terkait dengan pembuatan regulasi teknis proses tahapan Pilkada.
Padahal pembuatan aturan terkait teknis Pilkada sudah sepenuhnya menjadi kewenangan KPU sebagaimana biasanya diamanatkan dalam UU yang sama.
Kedua, jenis aturan yang dibuat dan dihasilkan melalui rapat konsultasi antara KPU dan DPR adalah sesuatu yang tidak dikenal dalam sistem tata aturan negara Indonesia.
Jika satu aturan di bawah UU yang bersifat teknis baru dapat ditetapkan setelah mendapat persetujuan DPR, maka harus jelas apakah aturan itu setingkat UU atau hanya aturan biasa.
Ketiga, dengan begitu persoalannya akan meruncing pada kewenangan DPR. Apakah DPR memiliki kewenangan mengikat satu institusi untuk sama-sama membuat aturan yang sifat peraturannya di bawah UU.
"Apakah DPR memiliki kewenangan untuk membuat aturan bersama di luar pemerintah yang mengikat negara. Jika ya, apakah aturan itu dapat dinyatakan produk legislasi DPR?," jelasnya.