REPUBLIKA.CO.ID, TULUNGAGUNG -- Perajin sekaligus pelaku usaha kecil pembuatan batik berbahan kain sarung di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, mengaku kewalahan melayani permintaan pasar batik yang meningkat hingga 100 persen selama Ramadhan.
"Pangsa pasarnya terlalu besar sementara kemampuan produksi kami terbatas," kata pengusaha konveksi batik sarung di Desa Majan, Tulungagung, Zaenal Arifin di Tulungagung, Jumat (10/6).
Pada hari biasa, kata dia, volume produksi batik sarung di unit usaha rumahan milik Zaenal berkisar 200-an potong. Namun memasuki bulan suci Ramadhan, lanjutnya, volume produksi naik menjadi 300 hingga 400-an potong per hari.
"Berapapun yang bisa kami produksi sebenarnya selalu habis diambil distributor ataupun pelanggan. Masalahnya bahan baku sarung juga terbatas," ujarnya.
Menurut Zaenal, permintaan baju batik berbahan sarung ditempatnya tinggi karena tidak banyak usaha konveksi yang mampu memproduksi batik sarung seperti di rumah konveksi mereka. "Bahan sarung gagal produksi itu kami dapat dari salah satu pabrik sarung terbesar di Jatim. Selain tidak semua orang bisa mengakses ke 'dalam', bahan bakunya juga terbatas," ujarnya.
Zaenal mengatakan, sarung gagal produksi atau yang tidak lolos uji kelayakan (quality control) dia beli dengan harga sekitar Rp 35 ribu per potong, dari harga normal sarung di toko yang biasanya dipatok Rp 125 ribu hingga Rp 150 ribu. "Kami beli dalam bentuk borongan dengan harga per-kodi isi 20 potong sekitar Rp 700 ribu," paparnya.
Setelah bahan baku sarung di dapat, Zaenal dibantu anak-istri serta sekitar 35 pekerja melakukan pemilahan dan identifikasi sarung cacat produksi untuk selanjutnya menentukan desain serta pola baju batik sarung yang akan dibuat.
"Harga batik sarung sudah jadi, untuk borongan ke distributor atau toko sekitar Rp 60 ribuan per potong. Tapi jika langsung ke pembeli eceran harganya antara Rp 90 ribu hingga Rp 100 ribu per potong," kata Zaenal.