REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto menyebut pelaku kejahatan seksual yang belum dewasa atau anak-anak juga membutuhkan perhatian lebih. Sebab, Susanto menilai, mereka merupakan korban.
Ia menyebut, faktor lingkungan dan pendidikan dapat mempengaruhi perilaku anak yang terlibat dalam kasus kejahatan seksual. "Meski anak menjadi pelaku kekerasan, mereka sesungguhnya korban. Mungkin karena dari lingkungan yang kurang support dan dari sistem pendidikan yang tidak support," jelas Susanto dalam diskusi di Depok, Sabtu (11/6).
Karena itu, Susanto mengatakan, perlakuan terhadap pelaku kejahatan seksual yang masih anak-anak haruslah berbeda dibanding para pelaku dewasa. Hal ini juga telah diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana pelaku kejahatan seksual yang masih di bawah umur tak mendapatkan pemberatan hukuman.
"Di dalam Perppu kebiri, anak tidak mendapatkan pemberatan hukuman maupun hukuman tambahan seperti kebiri, ekpose identitas, dan chip," kata dia.
Lebih lanjut, ia mengatakan, hukuman kebiri tidak hanya diterapkan di Indonesia, namun juga di sejumlah negara lainnya seperti Amerika, Inggris, Australia, serta Korea Selatan. Kendati demikian, hukuman kebiri yang diterapkan di Australia dilakukan atas dasar sukarela sehingga para pelaku dapat sembuh dari penyimpangan seksual.
Ia mengatakan, hukuman kebiri yang diterapkan oleh Indonesia mirip dengan Korea Selatan. "Orang yang akan dikebiri adalah orang yang adiksi seksual dan korban lebih dari satu. Maka pengadilan kemudian akan memutuskan apakah tepat enggak untuk dikebiri," kata Susanto.
Sementara itu, anak yang menjadi korban kejahatan seksual juga perlu mendapatkan perhatian serius. Perlakuan terhadap korban kejahatan seksual pun juga berbeda sesuai dengan usianya.