REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Pihak oposisi Taiwan, Partai Nasionalis menyebut pemerintahan baru menekan karena melarang mantan Presiden Ma Ying Jeou melakukan kunjungan ke Hong Kong atas dasar keamanan nasional.
Partai Nasionalis pimpinan Ma kalah telak dalam pemilihan umum Januari lalu dari Presiden Tsai ing Wen dan Partai Progresif Demokratisnya (DPP), yang condong ke arah kemerdekaan dari Cina. Mereka mengatakan melarang Ma mengunjungi bekas jajahan Inggris, Hong Kong itu benar-benar tidak bermanfaat bagi rekonsiliasi politik internal dan keharmonisan sosial di Taiwan.
"Gaya penekanan dari pemerintahan DPP yang baru disumpah ini jelas kepada orang-orang," ujarnya.
Pemerintahan Tsai mengatakan pada Ahad (12/6) mereka melarang Ma berkunjung ke Hong Kong dimana dia dijadwalkan akan memberikan sebuah pidato di upacara penghargaan media, Masyarakat Penerbit di Asia, pada Rabu.
"Berdasarkan situasi internasional yang dihadapi oleh Taiwan dan dengan mempertahankan keamanan dan kepentingan nasional, Hong Kong merupakan sebuah wilayah yang sensitif (terkait) mempertahankan keamanan nasional kami," Kantor Kepresidenan mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Mereka juga mengatakan pihak berwenang Taiwan dan Hong Kong tidak memiliki waktu mengoordinasi persiapannya. DPP pada dasarnya lebih mewaspadai Cina daripada Partai Nasionalis milik Ma. Perasaan waspada itu datang setelah sekelompok warga Taiwan dipaksa dipulangkan dari Kenya ke Cina atas tuduhan penipuan di Cina pada April, sebuah kasus yang membuat marah Taiwan.
Sejumlah komentar di media sosial Taiwan pada saat itu mempertanyakan apakah ada contoh yang diberlakukan terkait warga Taiwan di luar negeri yang "diambil" oleh Cina, menghubungkan dengan kasus lima orang pedagang buku di Hong Kong yang pernah hilang karena alasan yang tidak jelas.
Cina mengklaim kedaulatan atas Taiwan sejak 1949, saat pasukan Mao Zedong memenangi perang saudara Cina dan pihak nasionalis, Chiang Kai Shek melarikan diri ke pulau itu. Para pemimpin Partai Komunis di Cina berjanji membawa Taiwan kembali ke bawah kekuasaannya dan akan menggunakan kekuatan paksa jika diperlukan.
Hong Kong dikembalikan ke bawah kekuasaan Cina pada 1997 di bawah perlakuan "satu negara, dua sistem" yang menjamin serangkaian otonomi bagi wilayah penghubung finansial itu, namun lokasi itu menjadi tempat terjadinya protes anti-Cina yang terkadang berujung ricuh pada 2014.