REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menolak tuntutan pencabutan hak politik mantan Anggota komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo. Majelis hakim yang diketuai Baslin Sinaga menyatakan, tuntutan tersebut sudah semestinya dikesampingkan.
Majelis Hakim menilai, sudah ada Undang-undang yang mengatur secara terpisah pencabutan hak politik seseorang. Tak hanya itu, menurut hakim, masyarakat secara luas akan mampu menilai secara langsung apakah Dewie masih layak dipilih atau tidak.
"Majelis Hakim tidak sependapat dengan pendapat Jaksa Penuntut Umum (JPU). Maka, pencabutan hak politik sepatutnya untuk ditolak," kata Majelis Hakim.
Sementara itu, Dewie menyatakan jika dalam kasus ini dirinya hanyalah sebagai korban. Menurutnya, apa yang telah dilakukannya adalah demi rakyat, khususnya rakyat yang ada di Kabupaten Driyai, Papua.
"Saya korban, sudah hak politik saya dominta dicabut, diberhentikan dari anggota DPR, saya pun dipenjara. Demi rakyat saya dipenjara," kata Dewi seusai menjalani persidangan.
Dewie juga tetap dengan pendapatnya jika dirinya tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tidak pernah mengambil uang rakyat. "Saya enggak korupsi, saya bukan koruptor, saya enggak rugikan uang rakyat, saya enggak rampok uang rakyat," ucap Dewie.
Dalam perkara ini, Dewie Yasin Limpo beserta staf ahlinya, Bambang Wahyuhadi, dijatuhi hukumanan penjara selama enam tahun dan denda Rp 200 juta subsideir tiga bulan kurungan. Majelis menyatakan, keduanya telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Tindak pidana korupsi yang dimaksud majelis adalah karena keduanya terbukti menerima suap sebesar 177.700 dolar Singapura (sekitar Rp 1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan seorang pengusaha, Setiady Jusuf.
Uang tersebut diberikan agar Dewie membantu mengupayakan anggaran dari pemerintah pusat sebesar Rp 50 miliar untuk proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.
Dewie yang saat itu merupakan anggota Komisi VII DPR RI, bersedia mengupayakan pembangunan pembangkit listrik dengan syarat, Irenius Adii mau mempersiapkan dana pengawalan anggaran sebesar 10 persen dari anggaran yang diusulkan, sebagai imbalan bagi dirinya.