REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Sumarsono memanggil Walikota Serang sekaligus Karo Hukum dan Kepala Sat Pol PP terkait kronologis razia warung makan yang terjadi pada Ahad (12/6) kemarin.
Dari kronologis dan tinjauan hukum Perda Nomer 2 Tahun 2010 maka ada tiga pasal yang direvisi oleh Kemendagri. Sumarsono mengatakan, Perda Nomer 2 Tahun 2010 memang menjadi pegangan bagi Pemkot Serang dalam melakukan razia tersebut.
Namun, setelah dikaji kembali memang ada tiga pasal yang bermasalah. Selain bertentang dengan Undang Undang diatasnya, perda tersebut juga sarat akan pelanggaran HAM.
"Tiga pasal itu langsung kami usulkan perubahannya. Agar tak terkesan adanya pelarangan membuka. Karena melarang dan membatasi tentu dua konteks dan makna yang berbeda. Kita bukannya tidak sepakat dengan Perda tersebut. Tapi alangkah baiknya jika Perda tersebut bukan melarang total tetapi membatasi," ujar Sumarsono di Kantor Mendagri, Selasa (14/6).
Tiga pasal bermasalah tersebut antara lain pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 yang menurut Sumarsono, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 7 ayat 1, ayat 3 dan ayat 4 Perpres 74 tahun 2013.
Selain itu, pada Pasal 10 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan, setia orang dilarang merokok, makan dan minum ditempat umum atau ditempat yang dilintasi orang pada siang hari selama ramadhan. Setiap pengusaha restoran, rumah makan, warung dan pedagang makanan dilarang menyediakan tempat untuk menjual makanan atau minuman pada siang hari selama bulan ramadhan.
Sedangkan pasal 22 yang menyebutkan, hal hal yang belum diatur dala peraturan daerah tersebut sepanjang teknis pelaksanaanya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Pada pasal 10 menurut Sumarsono pada kenyataanya mengandung unsur intoleransi. Sebab bukan berarti semua orang tak boleh makan, masih ada warga yang non muslim dan musafir yang melintasi Serang.
Maka, solusi yang ditawarkan adalah membatasi pernjualan, misalkan memberikan tenda atau tidak dibuka secara 100 persen. Sedangkan pada pasal 22, menurut Sumarsono terlalu meluas dan berpotensi membuat aturan baru.
Maka, misalkan memang Perda tersebut akan diterjemahkan melalui peraturan walikota, maka lebih spesifik dituliskan soal pembatasan penjualan makanan atau seperti apa mekanismenya diterjemahkan dalam Peraturan Wali Kota.
"Kata kuncinya itu gak tepat pada kata larang. Adanya pembatasan. Yang dibatasi waktu bukanya. Boleh kok buka. Pembatasan yang harusnya diutamakan. Pelarangan itu gak boleh sama sekali. Hakekatnya, tapi dibatasi," ujar Sumarsono.