REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Eritrea menuduh Ethiopia pada Selasa (14/6) telah mendorong pengumpulan bukti dalam sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan lalu yang menuduh para pemimpin Eritrea melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk penyiksaan, pembunuhan dan perbudakan.
Laporan tersebut yang dibuat para pakar independen menyerukan kasus itu dirujuk ke Mahkamah Kejahatan Internasional.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB, yang mengadakan sidang tiga pekan di Jenewa, akan mempertimbangkan sebuah resolusi untuk merekomendasikan aksi atas Eritrea di masa mendatang.
"Pengumpulan informasi dari 'saksimata' yang diatur oleh Ethiopia bermaksud untuk memajukan propagandanya terhadap sebuah negara agar tak stabil," kata Menteri Luar Negeri Eritrea Osman Saleh di hadapan forum beranggota 47 negara itu.
Dua negara Afrika itu terlibat dalam perang pada 1998-2000 yang membunuh 70 ribuorang. Mereka sering saling menuduh satu sama lain agar tak stabil dan menggulingkan pemerintahan lainnya. Menlu Saleh menyebut Ethiopiawajah Afrika bagi negara-negara lain dengan sebuah agenda mengubah rezim dan menyatakan negara itu telah mengawali serangan militer yang tak diprovokasi terhadap Eritrea pada Ahad lalu.
"Serangan bersenjata dua hari lalu bersamaan waktunya dengan penyiaran laporan itu, dengan maksud berdampak atas integritas teritorial dan kedaulatan Eritrea," katanya.
Duta Besar Ethiopia Neagsh Kebret Botora mengatakan kepada forum Jenewa itu Eritrea telah melancarkan serangan tak diprovokasi, menggempur penduduk di sekitar kawasan perbatasan. "Rezim itu selalu memilih kapan untuk mengalihkan perhatian komunitas internasional dari rekor hak-hak asasi manusia yang dilakukannya," kata dia.
Menlu Saleh mengatakan Eritrea menitikberatkan pada hak-hak asasi manusia, termasuk bekerja sama dengan kantor HAM PBB memperkuat sistem pengadilannya, mencari bantuan PBB mengenai sistem pemenjaraan, dan membebaskan tawanan perang Djibouti.