REPUBLIKA.CO.ID,PADANG -- Pemerintah Kota Padang tak terima disebut memiliki peraturan daerah (perda) yang dinilai intoleran oleh pemerintah pusat. Karena, sebelum mengeluarkan perda, para pemangku kepentingan di Kota Padang mengkonsultasikannya terlebih dahulu ke pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Perda mengenai kewajiban baca tulis Alquran bagi siswa SD yang muslim itu dikeluarkan setelah melalui konsultasi dengan Kemendagri sebelumnya,” kata Wali Kota Padang, Mahyeldi Ansharullah saat dihubungi Republika, Rabu (15/6).
Mahyeldi membantah tudingan pemerintah pusat bahwa perda tersebut intoleran karena diharuskan juga bagi siswa yang non muslim. “Ini gak benar, ini khusus siswa siswi yang muslim saja. Begitupun dengan busana muslimah, khusus yang muslim saja,” kata Mahyeldi.
Karena itu, Mahyeldi mengatakan, pemerintah pusat seharusnya jangan hanya berwacana di media ingin menghapus perda yang bermasalah yang termasuk kategori intoleran. Pusat harus segera mengirimkan tim atau minimal surat untuk mensosialisasikan masalah perda-perda yang dinilai bermasalah tersebut.
“Jangan hanya berwacana, bicara di media. Lihat di lapangan pelaksanaan perdanya seperti apa,” kata Mahyeldi.Karena selama ini, lanjut Mahyeldi, pemerintah pusat tidak pernah member tahu secara resmi soal penghapusan perda ini. “Ayo turun ke lapangan, lihat mana perda kami yang melanggar undang-undang,” kata Mahyeldi.
Menurut Mahyeldi, dalam membuat Perda, para pemangku kepentingan seperti Pemkot dan DPRD Kota Padang mengutamakan kearifan lokal. Di mana, kearifan lokalnya banyak menyerap nilai-nilai agama Islam.
Soal Perda tentang larangan miras, Mahyeldi mengaku perda tersebut dibuat untuk melindungi warganya. Karena, konsumsi miras memberikan dampak yang tidak baik bagi kesehatan dan dampak buruk lainnya.
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto menjelaskan apa maksud dari "perda intoleran" yang merupakan kategori tiga rubuan perda yang akan dihapus oleh Kemendagri. Menurut dia, perda tersebut adalah yang bernada melarang sesuatu atas dasar perintah agama.
Ia mencontohkan, salah satu sekolah dasar negeri di Sumatra Barat mewajibkan siswanya untuk bisa membaca surah al-Fatihah. Ia menilai hal tersebut sebagai sikap yang intoleran karena tidak semua orang yang masuk SD itu belum tentu Muslim.
Sama halnya aturan yang mewajibkan siswanya berbusana Muslim seperti di Padang. Selain itu, perda yang melarang warung makan buka saat Ramadhan juga termasuk dalam kategori intoleran. Seharusnya, warung-warung tersebut cukup diawasi dan dikendalikan sehingga tetap terlihat perbedaan saat Ramadhan dan sebelum Ramadhan.
''Kalau Perda Miras termasuk juga, itu tidak boleh satu daerah melarang. Yang boleh itu diawasi dan dikendalikan,'' kata Sigit saat dihubungi, Rabu (15/6).