REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat Indonesia untuk Demokrasi (SIGMA), Imam Nasef, mengungkapkan, Kepala Daerah bisa melakukan 'perlawanan' terkait pembatalan sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang dilakukan pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Namun, perlawanan itu dapat dilakukan sejauh ada indikasi pelanggaran yang dilakukan Kemendagri.
Menurut Imam, berdasarkan Pasal 250 dan 251 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) hanya ada tiga alasan suatu Perda dapat dibatalkan, baik secara kumulatif maupun alternatif. Alasan-alasan tersebut antara lain jika Perda tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, dan atau bertentangan dengan kesusilaan.
Para Kepala Daerah, lanjut Imam, sebenarnya bisa melakukan 'perlawanan' dengan mempertanyakan keputusan Kemendagri tersebut, apabila pembatalan Perda itu tidak didasarkan kepada tiga alasan tersebut. "Saya mendorong kepada Kepala Daerah yang menemukan adanya indikasi pembatalan Perda yang tidak didasarkan pada tiga alasan tersebut untuk melakukan 'perlawanan'," tutur Imam di Jakarta, Kamis (16/6).
Namun, Imam menegaskan, perlawanan itu harus ditempuh melalui jalur-jalur konstitusional, yang sudah diatur oleh Undang-Undang. Jalur itu antara lain, para Kepala Daerah itu bisa secara langsung mengajukan keberatan secara langsung kepada Mendagri, dan kemungkinan melalui jalur hukum.
"Jalur dimaksud bisa berupa mengajukan keberatan secara langsung kepada Mendagri atau dengan mengajukan gugatan hukum," ujar Imam.
Sebelumnya, Pemerintah Pusat memutuskan untuk membatalkan setidaknya 3143 Perda yang dianggap bermasalah. Perda-perda yang dibatalkan itu rata-rata berfokus pada aturan pajak, retribusi, dan aturan lain yang melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis.