REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setidaknya sekitar 3.143 Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap bermasalah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Pengamat Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat Indonesia untuk Demokrasi (SIGMA), Iman Nasef menilai, banyaknya Perda yang dibatalkan justru menunjukan kegagalan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam melaksanakan fungsi executive preview.
Menurut Imam, dalam UU Pemda, Mendagri diberikan kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan perda. Terutama, perda-perda yang terkait dengan fiskal daerah, seperti Raperda APBD, pajak, retribusi, dan yang mengatur soal tata ruang.
''Kemudian yang menjadi pertanyaan, kalau dari sejumlah Perda itu sekarang dinyatakan bertentangan dengan ketentuan lebih tinggi, lantas mengapa dahulu saat dilakukan evaluasi, ketika masih dalam bentuk rancangan, perda-perda itu diloloskan?'' kata Imam di Jakarta, Rabu (15/6).
Pemerintah Pusat memang telah memutuskan membatalkan perda yang dianggap bermasalah. Rata-rata Perda tersebut fokus pada aturan pajak, retribusi, dan aturan lain yang melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis.
Tidak hanya itu, berdasarkan catatan, jumlah perda yang saat ini dibatalkan pemerintah pusat merupakan rekor tertinggi sejak pemberlakukan otonomi daerah. Sebelumnya, dari tahun 2002 hingga 2009, sebanyak 2.246 perda dibatalkan. Kemudian pada 2010 hingga 2014, sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Sementara pada November 2015 hingga Mei 2016, sebanyak 139 perda telah dibatalkan.
Imam menambahkan, sebenarnya kepala daerah dapat 'melawan' pembatalan perda yang dilakukan Kemendagri tersebut. Namun, 'perlawanan' itu harus seiring dengan hasil kajian, apakah pembatalan perda tersebut melanggar UU Pemda, yang mengatur alasan pembatalan Perda, yaitu apabila Perda bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, dan bertentangan dengan kesusilaan.
''Para Kepala Daerah bisa melakukan 'perlawanan' melalui jalur yang konstitusional untuk men-challenge keputusan Mendagri tersebut. Jalur dimaksud bisa berupa mengajukan keberatan secara langsung kepada Mendagri atau dengan mengajukan gugatan hukum,'' ujar Imam.