REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad meminta agar semua pihak merespon secara proporsional perihal pembatalan sejumlah perda yang dilakukan oleh pemerintah.
"Sesuai Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk membatalkan perda jika dinilai bertentangan dengan ketentuan yang kriterianya juga diatur dalam undang-undang tersebut," katanya, Kamis (16/6).
Pemerintah daerah, kata dia, juga punya ruang keberatan jika tidak terima perdanya dihapus. Mengacu pada UU No 23 Tahun 2014 Pasal 250 alasan pembatalan perda oleh pemerintah ada tiga antara lain karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, menggangu kepentingan umum dan atau kesusilaan.
"Pembatalan perda harus akuntabel dan dilakukan sesuai prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah juga tidak perlu ragu melakukan keberatan jika menilai pembatalan tidak tepat," kata Farouk.
Berdasar prinsip akuntabilitas, lanjut Farouk, pemerintah harus memberikan alasan dalam setiap perda yang dibatalkan. Pihak yang membatalkan harus mampu menunjukan pertentangannya. Jika diketahui alasannya akan membuat lebih mudah memberikan sikap keberatan terhadap putusan tersebut.
"Sebagai wakil daerah, DPD sangat terbuka menjadi fasilitator jika ada polemik dan keberatan terkait pembatalan. Kami akan mempelajari alasan pembatalan pemerintah dan argumentasi keberatan pemda jika keberatan itu juga disampaikan ke DPD."
Baca juga, Banyak Perda Dibatalkan, Kemendagri Dinilai Gagal.
Jika alasan pemerintah benar dan dapat dipertanggungjawabkan maka DPD akan mengingatkan pemerintah mengapa selama ini dibiarkan. "Tapi kalau ternyata alasan keberatan pemda dapat diterima DPD akan mendesak pemerintah untuk mendengarkan dan bila perlu DPD akan mengadakan rapat kerja segitiga," ujar Farouk.
Sebelumnya pemerintahan Jokowi membatalkan lebih dari 3.000 perda yang dianggap bersamlah. Di antara aturan yang dihapus yakni perda intoleran.