REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada tiga alasan suatu peraturan daerah (perda) dapat dibatalkan baik secara komulatif maupun alternatif. Pertama, apabila perda tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, kepentingan umum, ketiga kesusilaan.
Pengamat Hukum Tata Negara Sinergitas Masyarakat untuk Indonesia (SIGMA) M Imam Nasef mengatakan berdasarkan hal tersebut, apabila ada kepala daerah yang menemukan adanya indikasi bahwa pembatalan perda tidak didasarkan pada tiga alasan maka bisa melakukan perlawanan. Bukan dengan kekerasan, melainkan melalui jalur konstitusional untuk menantang keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tersebut.
"Jalur dimaksud bisa dengan mengajukan keberatan secara langsung kepada Mendagri atau dengan mengajukan gugatan hukum," kata dia, baru-baru ini.
(Baca juga: Banyak Perda Dibatalkan Bukti Kualitas Legislasi Rendah)
Imam menyebut apabila dicermati lebih jauh, banyaknya perda yang dibatalkan justru menunjukkan kegagalan Mendagri dalam melakukan fungsi peninjauan eksekutif (executive preview) terhadap perda-perda tertentu. Sebab dalam UU Pemda, Mendagri diberi kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan perda yang terkait dengan fiskal daerah seperti raperda APBD, pajak, retribusi dan lain-lain serta raperda tentang tata ruang sebelum disahkan.
"Yang menjadi pertanyaan besar, kalau dari sejumlah perda itu sekarang dinyatakan bertentangan dengan ketentuan lebih tinggi, lantas mengapa dahulu pada saat dilakukan evaluasi ketika masih dalam bentuk rancangan, perda-perda tersebut diloloskan?" ujar Imam.
Selain itu, agresifitas pemerintah pusat dalam membatalkan perda, pada titik tertentu akan mempersempit ruang gerak pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Pasalnya perda merupakan salah satu instrumen penting yang dimiliki pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.