REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Instruksi pemerintah untuk mencabut sejumlah peraturan daerah (perda) dinilai kontraproduktif dengan upaya mewujudkan pemerintah yang baik (good governance). Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah sebagai pejabat negara terikat dengan sejumlah asas.
Beberapa asas diantaranya yakni asas kepastian hukum, akuntabiltas, kecermatan dan kehati-hatian.
"Kalau dalam membatalkan perda tidak ada kajian terlebih dahulu, maka pemerintah dalam hal ini Mendagri sangat potensial melanggar sejumlah asas tadi," ujar pengamat Hukum Tata Negara Sinergitas Masyarakat Untuk Indonesia (SIGMA) M Imam Nasef, baru-baru ini.
Merujuk kepada ketentuan Pasal 250 dan 251 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda), hanya ada tiga alasan suatu perda dapat dibatalkan baik secara komulatif maupun alternatif. Yakni apabila perda tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; kepentingan umum dan/atau; kesusilaan.
"Nah kalau Mendagri tidak melakukan kajian terlebih dahulu bagaimana dapat menguji dan memastikan perda-perda tersebut bertentangan dengan ketiga hal itu?," kata Imam. Pengujian ini sangat penting agar keputusan yang diambil Mendagri mencerminkan asas kepastian hukum dan akuntabilitas.
Seperti diberitakan sebelumnya Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah (perda) yang dinilai bermasalah. Pembatalan ini memecahkan rekor praktik pembatalan perda yang sejak diberlakukannya otonomi daerah terus berlangsung.
Sebelumnya dari tahun 2002-2009 sebanyak 2.246 perda dibatalkan. Berikutnya pada 2010-2014 sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Dan pada November 2015-Mei 2015 sebanyak 139 perda dibatalkan. Jika ditotal maka sejak 2002 hingga saat ini terdapat 7.029 perda telah dibatalkan.