REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Almuzzammil Yusuf menilai seharusnya pemerintah tidak boleh semena-mena dalam mencabut peraturan daerah (perda). Dalam melihat kualitas perda, tidak boleh hanya menyalahkan pemerintah daerah (pemda) dan DPRD.
Perlu juga mengevaluasi kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang memiliki tugas pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang fasilitasi perancangan perda. "Jadi perlu ada evaluasi ke dalam apakah semua kementerian sudah bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing," ujarnya di Jakarta, Kamis (16/6).
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, saat ini pemda, DPRD, dan masyarakat mempertanyakan informasi yang beredar perda yang dicabut. Termasuk perda yang berisi tentang moralitas, religiusitas, dan yang sesuai dengan kearifan lokal.
"Kita menghormati kekhasan Bali untuk Nyepi sebagai bagian dari Bhineka Tunggal Ika maka kita harus hormati juga fenomena kearifan lokal di daerah-daerah lain," ujar Muzzammil.
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, perlu mengumumkan ke masyarakat tentang peraturan daerah (perda) mana saja yang dibatalkan. Pemerintah harus terbuka, tidak hanya terkait perda apa saja yang dibatalkan tapi juga alasan pembatalannya.
Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 perda yang dinilai bermasalah. Pembatalan ini memecahkan rekor praktik pembatalan perda yang sejak diberlakukannya otonomi daerah terus berlangsung.
Sebelumnya selama periode 2002-2009 sebanyak 2.246 perda dibatalkan. Berikutnya pada 2010-2014 sebanyak 1.501 perda dibatalkan.
Pada November 2015-Mei 2015 sebanyak 139 perda dibatalkan. Jika ditotal maka sejak 2002 hingga saat ini terdapat 7.029 perda telah dibatalkan.