REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berbeda pendapat ihwal peraturan daerah (perda) yang masuk dalam daftar deregulasi. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Jazuli Juwaini berujar, beda pendapat di Kemendragi itu, membuat publik bingung.
Ia menilai, tidak ada koordinasi yang baik antara bagian menyoal perda yang akan dibatalkan. "Pertama itu artinya, tidak ada koordinasi yang baik. Mereka tak ada data yang kuat," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (16/6).
Menurut Jazuli, respon publik terhadap rencana penghapusan perda, dipicu pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pengumuman Presiden, bertepatan dengan kasus penyitaan barang dagangan penjual warteg, Ibu Saeni di Serang, Banten beberapa waktu lalu.
Satpol PP, saat itu menertibkan warung makan yang buka pada siang hari pada Ramadhan. "Kalau saat itu kesantunan tidak terlihat, tentu yang salah bukan perdanya, tapi yang mengoperasikannya," ujar Jazuli.
Sehingga, ia meminta, pemerintah pusat agar tidak gegabah dalam membuat pernyataan ihwal pembatalan 3.143 perda yang dinilai bermasalah. "Harus jelas dulu alasannya, kenapa dicabut mereka, apalagi yang bernuansa moralitas, ahlak mulia," kata dia menjelaskan.
Kepala Biro Hukum Kemendagri, Sigit Pudjianto menjelaskan, salah satu kriterian 3.143 perda yang dicabut, yakni yang dinilai intoleran. Perda tersebut, adalah yang bernada melarang sesuatu atas dasar perintah agam.
Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo, memastikan tidak ada perda bernuansa syariat Islam yang masuk daftar dicabut. Ia memastikan, semua peraturan yang dibatalkan, hanya terkait investasi, retribusi, pelayanan birokrasi dan masalah perizinan.