REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komite I DPD RI Andi Muhammad Iqbal Parewangi mengatakan, patut disesalkan kegemaran anggota kabinet Jokowi-JK menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. Tujuannya test on the water, atau memang ada tujuan ideologis, atau untuk up grade popularitas, atau sekadar upaya pengalihan dari isu tertentu.
"Namun efeknya, masyarakat menjadi gaduh. Contoh terbaru penghapusan 3.143 perda yang diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi," katanya di Jakarta Jumat (16/6).
Penghapusan perda bukan hanya gaduh di medsos, di dunia nyata pun muncul kegaduhan. Sebanyak 10 ribu warga Serang menandatangani petisi menolak penghapusan perda terkait pengaturan waktu buka warung makan pada Ramadhan.
"Kegaduhan paling tampak di tengah umat Islam dengan merebaknya informasi bahwa dalam penghapusan secara gelondongan itu, sesungguhnya perda-perda bersyariat Islam dijadikan target strategis untuk dihapuskan," ucap dia.
Sebenarnya, ujar Andi, tidak semudah itu juga menghapus perda. Pertama, ini era otonomi daerah dengan semangat desentralisasi.
Penghapusan perda secara gelondongan oleh pemerintah pusat dapat diartikan sebagai upaya resentralisasi secara besar-besaran. Hal itu bisa dinilai pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
Kedua, pencabutan perda punya mekanisme yaitu melalui judicial review atau political review. Pihak yang mengevaluasi itu DPRD.
Menariknya lagi, terang dia, setelah terlanjur merebakkan kegaduhan, Mendagri mengklarifikasi bahwa tidak ada perda syariat Islam yang dihapus. Mungkin harapannya disambut alhamdulillah, tapi yang muncul malah kegaduhan baru karena masyarakat balik saling tuding.