REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produksi gas bumi dari Lapangan Jambaran-Tiung Biru di Bojonegoro, Jawa Timur belum bisa diserap oleh industri, termasuk oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) IGN Wiratmaja Puja mengungkapkan, produksi gas bumi dari lapangan yang digarap oleh PT Pertamina EP Cepu ini diketahui memiliki kandungan Hidrogen sulfida (H2S) yang terlampau tinggi sehingga harus ada pengolahan yang membuat harganya menjadi relatif mahal.
Wiratmaja menambahkan, kandungan hidrogen sulfida dalam gas bumi dari Lapangan Jambaran-Tiung Biru mencapai 34 persen. Kondisi ini membuat harga gas dari sana dipatok pada harga 8 dolar AS per MMBTU dengan ekskalasi sebesar 2 persen. Mahalnya harga gas dari Lapangan Jambaran-Tiung Biru juga membuat PT Pupuk Kujang belum menyepakati pembelian gas.
"Biaya untuk memproduksinya relatif agak mahal. Sehingga pabrik pupuk enggak kuat nyerap. PLN enggak kuat nyerap. Industri juga enggak kuat. Jadi (tadi kami bahas) apa yang sebaiknya dilakukan," kata Wiratmaja saat ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (17/6).
Sebelumnya, calon pembeli gas sempat berharap adanya Peraturan Presiden (Perpres) tentang penurunan harga gas bumi sanggup menekan harga gas dari Lapangan Jambaran-Tiung Biru. Namun ternyata, selisih antara harga yang ditawarkan dan harga yang dikompensasi belum bisa menutup harga yang bisa dibeli oleh industri.
"Untuk pupuk, dengan delta dikurangi itu pun belum kuat juga (industri) pupuk menyerapnya," katanya.
Pemerintah nantinya bakal mencari cara agar baik produsen gas dan industri bisa sama-sama mendapat keuntungan yang optimal. Kementerian ESDM bakal mempertemukan calon pembeli dan produsen gas agar perjanjian jual beli bisa diteken.