REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) meminta fasilitasi lindung nilai (hedging) syariah digunakan untuk kebutuhan riil dengan dasar transaksi (underlying) yang jelas. Untuk menghindarkan hedging syariah dari spekulasi, BI menentukan syarat yang harus dipenuhi.
Asisten Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah BI Ismal menjelaskan, setiap transaksi hedging syariah tidak boleh dilakukan untuk spekulasi sehingga wajib memiliki underlying. Hedging syariah juga hanya boleh dilakukan bila terdapat kebutuhan riil tak terhindarkan atas risiko nilai tukar valas di masa mendatang.
Akad yang digunakan adalah muwa’adah. Artinya transaksi hedging syariah akan didahului oleh forward agreement atau rangkaian forward agreement dimana para pihak berjanji untuk melakukan transaksi spot dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang dengan nila tukar atau perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat saling berjanji.
''Di sini, para pihak tidak boleh ingkar janji. Fatwa DSN MUI melarang inkar dan meminta kedua pihak memenuhi janji. Karena DSN MUI menyampaikan, muwa'adah itu satu level di bawah akad,'' ungkap Rifki dalam sosialisasi Peraturan BI Nomor 18/2/PBI/2016 tentang transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/11/DEKS tentang transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah, di Jakarta, Jumat (17/6).
Wa'ad bisa menggunakan wa'ad bi syartin (janji dengan syarat) yang harus ditepati) dan tertulis meski bukan kontrak. Format dokumen perjanjian sendiri BI serahkan ke pelaku.''Ini dokumen janji bukan akad. Dokumen ini akan jadi bagian dasar transaksi hedging syariah. Di dalamnya harus disebutkan underlying dan rentang waktunya,'' ungkap Rifki.
Saat realisasi wa'ad atau ijwab qabul, tidak diperlukan dokumen tersendiri. Yang terpenting sudah ada dokumen janji dan ditepati. Dokumen janji satu transaksi jadi objek underlying transaksi lain agar tidak jadi spekulasi.
Saat janji tidak dilaksanakan salah satu pihak, maka pelanggar perjanjian dapat dikenakan ganti rugi. Jika dibutuhkan perpanjangan waktu, para pihak bisa membuat janji lagi untuk itu sehingga janji pertama batal dan diperbarui janji ke dua untuk perpanjangan waktu.
Dengan adanya aturan hedging syariah, semua bank boleh jadi pemberi hedging syariah termasuk bank konvensional. Sebelum ada aturan ini, bank syariah boleh meminta hedging syariah kepada bank konvensional.
Namun langkah itu justru lebih rawan karena belum ada fatwa yang mendasari. Sehingga bank syariah bisa dituding melanggar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah yang mewajibkan transaksi bank syariah berlandaskan fatwa.