REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ekonomi syariah IAIN Imam Bonjol Padang, Ahmad Wira, mengungkapkan, tingginya tingkat konsumsi masyarakat selama Ramadhan tidak masalah selama masih seimbang dengan ketersediaan kebutuhan.
''Selama yang dibutuhkan masyarakat dapat terpenuhi atau bisa dikatakan seimbang, itu tidak masalah,'' ujar Ahmad Wira seperti dikutip Antara.
Menurut dia, dalam kajian ekonomi Islam, ekonomi dan puasa memang memiliki hubungan yang erat antara satu dan lainnya. Idealnya, ketika seseorang berpuasa dengan cara yang benar, seharusnya ketika berbuka, dia tidak berlebihan atau balas dendam pada makanan, ungkapnya.
Menurut Wira, hal ideal tersebut tidak ditemui pada kenyataan karena kebanyakan masyarakat ketika berbuka menyediakan banyak menu yang kadang terkesan berlebihan. ''Masyarakat yang konsumtif selama Ramadhan secara tidak langsung akan memberikan dampak terhadap harga barang di pasaran,'' kata Wira menjelaskan.
Ustaz Abdul Munir dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menyebut, perilaku umat Islam yang konsumtif pada bulan suci ini sebagai paradoks Ramadhan. Padahal, kata dia, pada Ramadhan, umat Islam diperintahkan untuk menahan lapar atau hidup sederhana dan banyak membantu kaum lemah.
Namun, lanjut dia, kenyataan lebih konsumtif, banyak belanja karena takut lapar, boros, dan mubazir. Dalam data Bulog dan Kementerian Perdagangan, konsumsi umat Islam selama Ramadhan meningkat tajam.
Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis juga menyebut perilaku konsumtif sebagian umat Islam selama Ramadhan sebagai paradoks. ''Seharusnya, mengurangi konsumerisme, tapi nyatanya tambah banyak mengonsumsi, ujar Kiai Cholil kepada Republika, Jumat (17/6).
Puasa, kata Kiai Cholil, mengajarkan agar umat Islam dapat memilah antara kebutuhan dan keinginan. Karena itu, ia menganjurkan supaya umat Islam cerdas saat belanja.
Menurut dia, puasa tak hanya mengandung makna perintah dalam konteks ibadah. Namun, umat Islam diminta agar menggunakan rasio dalam merespons realitas.