Ahad 19 Jun 2016 03:09 WIB

Hukum Islam Pemaafan Diterapkan, Penjara tak akan Penuh

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva.
Foto: Twitter
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pemikiran fenomenal almarhum mantan hakim agung Rifyal Ka'bah tentang hukum Islam, turut berkontribusi dalam penggunaan hukum positif di Indonesia. Dalam buku "Penegakan Syariat Islam di Indonesia", pemikiran Rifyal Ka'bah tidak bertentangan dengan Pancasila maupun hak asasi manusia (HAM).

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva sangat yakin, nantinya cita-cita almarhum agar syariat Islam dipakai dan ditegakkan untuk hukum di Indonesia, dapat terwujud. "Jadi nanti orang tidak lagi membedakan hukum Islam dan Barat, tapi hukum di Indonesia itu banyak dipenguruhi hukum dan syariat Islam," ujar Hamdan saat membedah buku tersebut di Universitas Indonesia, Sabtu (18/6).

Hamdan memiliki keyakinan, mengacu semakin maraknya kajian akademis, ke depannya hukum Islam bisa dimasukkan ke dalam hukum nasional. Dia bahkan optimistis hukum Islam akan diterapkan menjadi hukum nasional. Misalnya terkait pidana, ketika dimungkinkan adanya pemaafan bagi pelaku kejahatan tertentu, konsekuensinya penjara tidak penuh seperti saat ini. 

"Saya pinjam istilah, hukum Indonesia itu hukum hibrida. Artinya, hukum gabungan dari nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat, Barat, dan Islam. Dari ketiga nilai hukum ini, yang berperan dan berkembang terakhir nilai-nilai hukum Islam," ujar mantan politikus Partai Bulan Bintang (PBB) itu.

Menurut Hamdan, dibukanya kemungkinkan ruang hukuman lain untuk diadopsi, seperti dalam kasus pembunuhan, pelaku bisa ssja tidak harus masuk penjara ketika keluarga korban bersedia memaafkan. Pun dengan pelaku yang meminta maaf secara tulus dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.

Aturan itu sebenarnya layak dijalankan sebagai alternatif hukuman, selain penjara. Apalagi dalam sejarah perjalanan bangsam sambung Hamdan, terkandung dalam hukum adat yang selama ratusan tahun dianut masyarakat Indonesia, memberi peluang permaafan bagi pelaku tindak pidana. 

Dia mencontohkan, di suku Dayak dan sejumlah suku-suku pedalaman Papua, kalau pelaku sudah dimaafkan. Maka pelanggaran yang sudah terjadi dianggap selesai dan kedua belah pihak mendapat keadilan masing-masing sesuai kesepakatan. "Jadi tak perlu ada hukuman (penjara). Ini (hukum adat) harus dikenalkan dan diangkat menjadi hukum-hukum nasional, juga hukum Islam," ujar Hamdan.

Hamdan menegaskan, hukum model seperti itu dapat mewujudkan kehidupan menjadi damai. Sehingga, penghukuman secara filosofis tidak sekadar menjerakan orang yang melakukan kejahatan. "Tapi membangun keadilan dan kedamaian. kalau ini diakomodasi dalam hukum nasional, menjadi sangat luar biasa. Mengurangi tanggung jawab negara membiayai memberi makan orang di penjara," ujarnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement