REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Muslim biasanya menyambut Ramadhan dengan suka cita. Tetapi menjalani puasa Ramadhan bagi seorang mualaf tak semudah umat Muslim yang Islam sejak lahir.
Dina Septia (26 tahun) seorang ibu rumah tangga menjadi mualaf sejak 2011 lalu. Namun saat tahun pertama, dia belum sanggup berpuasa karena baru saja melahirkan.
Baru di tahun kedua mualafnya dia menjalani puasa meski tidak penuh satu bulan. “Tahun pertama belum satu bulan penuh karena masih menyusui juga,” ujar warga Gunung Putri, Bogor kepada Republika.co.id, Ahad (19/6).
Dina yang baru saja menjadi Muslim dan menyusui menjalani puasa lebih berat dibanding mualaf pada umumnya. Tak hanya itu, puasa Ramadhan diyakininya tak hanya menahan haus dan lapar, menahan emosi dan hal-hal negatif juga harus dihadapinya.
Baru tahun ketiga setelah mualaf, Dina sudah sanggup puasa satu bulan penuh. Dengan penuh tekad bahwa puasa Ramadhan merupakan satu bentuk ibadah wajib bagi umat Muslim.
Dina, ibu satu anak ini, bertekad untuk berpuasa penuh karena hanya satu bulan dalam satu tahun dan menahan godaannya. Dina juga bercerita suka duka ketika berpuasa Ramadhan karena sahur dan buka sendiri tanpa orang tua.
Namun begitu, orang tuanya sering menyediakan makanan berbuka meskipun berbeda agama. Tidak berbeda dengan makanan sehari-hari, dia hanya menyediakan minuman manis dan air mineral.
Sementara itu, Elmeti Budiarti (26 tahun) menjadi mualaf enam tahun lalu pada 2010. Ibu yang memiliki anak kembar ini tak memungkiri pada tahun pertama sebagai Muslim, ia menjalani puasa tidak penuh satu bulan.
“Tahun pertama puasa masih setengah hari, seperti anak kecil,” ujar dia.