REPUBLIKA.CO.ID, Gamelan klasik oleh seniman muda Sleman berkolaborasi dengan musik modern yang dimainkan musikus Jepang di Candi Borobudur, Indonesia. Meski melibatkan pemain musik dengan latar belakang budaya berbeda, proyek budaya yang digagas untuk program hiburan bergaya dokumenter We Are Asia itu justru semakin seru.
Hal tersebut disampaikan oleh Tri Kuncoro, Koordinator Balai Budaya Minomartani, Sleman, Yogyakarta. Ia adalah sosok yang mengaransemen musik, melatih, dan mendampingi sekira 14 pemain gamelan belasan tahun itu selama proses kolaborasi dengan para musikus Jepang.
"Kami semua saling belajar, apalagi teman-teman dari Jepang sangat baik, kooperatif, santun, dan terbuka untuk berdiskusi," ungkap Kuncoro.
Para seniman Jepang yang ia maksud antara lain Dean Fujioka dan band rock WEAVER. Selain mereka, aktor Shuhei Nomura dan grup tari Siro-A juga berkolaborasi dalam proyek multikultural yang berlangsung di Jepang, Kamboja, Hong Kong, dan Indonesia itu.
Kuncoro memaparkan, perbedaan budaya seperti gestur dan bahasa dari kawan-kawan Jepang dianggap sangat menarik oleh anak latihnya. Meski berbeda, komunikasi antara seniman kedua negara tidak terkendala karena difasilitasi oleh penerjemah.
Justru, ungkapnya, semua perbedaan tersebut tidak lagi terasa setelah kedua tim mulai memainkan musik. Kuncoro menyebutkan, musik serupa bahasa universal yang bisa menjembatani perbedaan bahasa dan budaya.
"Misalnya, ketika gladiresik di Borobudur ada nada yang harus diturunkan. Secara bahasa sulit, tapi setelah dibunyikan jadi mudah dimengerti," ucapnya.
Kolaborasi tersebut menjadi bagian dari lima episode We Are Asia: Dean Fujioka and Friends di saluran hiburan Asia GEM. Selain tayang di Indonesia setiap Ahad petang, program tersebut juga dapat disimak di banyak negara Asia.