REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Fajar sempurna baru saja muncul dari peraduan. Sinarnya terasa kian menghangat, kendati masih malu-malu tertutup awan. Kaki pun melangkah keluar rumah, memanjakan mata dengan lanskap hijau sejauh mata memandang. Dari kejauhan, “drrr... drrr... drr...” bunyi mesin huler mitra program Lumbung Desa Al hidayah, Kampung Cibaeud, Desa Lengkongjaya, Cigalontang, Tasikmalaya, menggema.
Suasana pagi itu kian ramai, mengiring hilir mudik para pengais rezeki, warga desa Lengkong Jaya. Mereka berduyun menuju ladang, menjemput anugerah rezeki dari sang Maha Pemberi. Panen padi yang gagal sepenggal waktu ke belakang lantaran serangan hama tikus, tak menyurutkan semangat warga Cibaeud. Kali ini mereka coba berinisiatif menanam Ubi Cilembu.
Tangan-tangan kurus tapi kokoh itu mencengkeram erat alat serupa garu besar. Sebagian lagi, memanggul bakul nasi di punggung mereka yang kian ringkih. Mereka menuruni potongan-potongan jalan yang menyempit tanpa alas kaki. Lincah meliukkan langkahnya, meski kaki-kaki termakan usia itu menginjak lekukan tanah terjal dan licin, sisa hujan kemarin.
Beberapa kepala bertopi caping, mengambil arah berbeda. Dilewatinya jalan yang lebih mudah, walau sedikit lebih jauh. Jalan mereka menanjak, sedikit berpeluh lantaran menggendong berbakul makanan untuk santapan bersama. Sepanjang perjalanan diisi dengan gurau ringan berlogat sunda kental. Tiba di ladang, sebagian petani pria sudah setengah jalan mencangkuli tanah yang lama tak terpakai itu. Seorang wanita penggendong bakul nasi, Ita namanya, memanggil karibnya yang sudah lebih dulu bekerja itu.
“Hei! Sarapan heula! (Sarapan dulu!)” teriak Ita.
Sementara para pencangkul beristirahat sejenak, wanita-wanita perkasa itu langsung terjun ke ladang. Tegap, kaki mereka menjejak tanah subur kemerahan di bawah mereka. Tanpa komando, mereka berbagi tugas: sebagian melubangi tanah, sebagian tertunduk menanami benih stek tangkai ubi.