Rabu 22 Jun 2016 09:54 WIB

Bercadar atau Berjilbab Biasa? Ini Fatwa Syekh Qaradhawi

Burqa
Burqa

REPUBLIKA.CO.ID, Penampilan ‘ala ninja’sebagian Muslimah, memang mengundang perhatian sejumlah kalangan. Sebagian masyarakat, bahkan menganggap hal itu sedikit ‘aneh’, bahkan cenderung memandang fenomena itu sebelah mata.

Padahal, persoalan bercadar, masuk dalam ranah ijtihad, yang patut dihormati, apapun argumentasinya. Lalu, seperti apakah hukum mengenakan busana yang juga dikenal dengan istilah burqa itu?

Pada 1995, cendekiawan Muslim Syekh Yusuf al-Qaradhawi, pernah mengeluarkan fatwa soal hukum bercadar. Sebelum memaparkan ragam pandangan ulama terkait hukum menutup keseluruhan muka, dengan menyisakan kedua mata ataupun bahkan menutup total sembari memberi kain transparan di bagian penglihatan, Ketua Persatuan Ulama se-Dunia ini menegaskan perdebatan menyoal cadar masuk ranah ijtihad.

Ulasannya tak akan pernah selesai, lewat berbagai media dan forum ilmiah apapun. Selama, terdapat indikator perbedaan cara pandang dan metode pengambilan hukum atas varian dalil di sana. “Saling hormati jangan dipertentangkan,” kata alumnus Universitas al-Azhar Mesir, itu.

Ulama yang kini menetap di Qatar itu pun memaparkan, pendapat mayoritas ulama ialah, hukum bercadar tidak wajib dan boleh menampakkan bagian luar yaitu wajah dan kedua telapak tangan.

Ini seperti dinukilkan dari sejumlah kitab fikih mazhab, yakni kitab al-Ikhtiyar yang bercorak Hanafi, Aqrab al-Masalik ila Madzhab Malik mewakili Mazhab Maliki, sedangkan dari Mazhab Syafii bisa merujuk al-Muhadzab karangan as-Syairazi. Sementara untuk Mazhab Hanbali bisa menyunting kitab Ibnu Qudamah al-Mughni.

Beberapa dalil yang jadikan dasar di antaranya, tafsir surah an-Nur ayat 31. Penafsiran kalimat ‘”kecuali yang (biasa) tampak darinya” menurut sebagian besar ulama adalah wajah dan kedua telapak tangan.

Agar lebih detilnya, uraian tafsir ayat itu bisa membaca kitab karangan Imam as-Suyuthi ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur.   

Ini diperkuat pula dengan tafsiran kalimat “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya” pada ayat yang sama. Jika bercadar diwajibkan, mestinya akan disebutkan secara jelas untuk menutup muka total di ayat itu.

Argumentasi tersebut didukung dengan hadis antara lain, riwayat sahih Abu Dawud dari Aisyah RA. Rasulullah SAW menyatakan, perempuan yang telah melalui masa haid, wajib mengenakan aurat kecuali yang biasa terihat. “Kecuali bagian ini dan ini,”sabdanya. Rasul menunjuk bagian muka dan kedua telapak tangan.

Meski demikian Syekh al-Qaradhawi menggaris bawahi, ketentuan tidak wajibnya bercadar, bukan berarti mengenakan burqa tersebut dilarang. Siapapun, yang hendak bercadar silakan.

Apalagi, bila ia berkeyakinan tengah muncul fitnah. Memang, jika dalam kondisi merebaknya fitnah itu, para ulama menyarankan bercadar. Sekalipun, belum ditemukan dalil yang secara tegas memerintahkan menutup keseluruhan muka.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement