REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berharap ada upaya bersama dari pihak-pihak terkait atas penanganan korban kejahatan seksual. LPSK pun mengapresiasi upaya pemberian sanksi berat untuk pelaku kejahatan seksual melalui Perppu Kebiri dan perumusan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS).
Namun, LPSK berharap ada perhatian lebih kepada korban kejahatan seksual. Sebab, setiap kejahatan seksual seharusnya diikuti proses pengungkapan kasus.
“Upaya yang lebih serius diperlukan karena tingkat keseriusan kejahatan seksual pun makin tinggi," ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, Rabu (22/6).
Menurut Haris, pengungkapan kasus seringkali terkendala oleh adanya ancaman terhadap korban maupun saksi. Perhatian dari semua pihak jangan hanya berhenti pada pemberian hukuman untuk pelaku, namun juga dirumuskan juga penanganan kepada para korban.
LPSK juga mengajak semua pihak baik instansi pemerintah, LSM, jurnalis, dan masyarakat untuk memerhatikan korban kejahatan seksual sesuai perannya masing-masing. Jurnalis misalnya, bisa memberikan perlindungan kepada korban dengan merahasiakan identitas korban dan keluarganya sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Sementara, pemerintah bisa memberikan pemenuhan hak korban melalui instansi-instansi seperti memberikan layanan medis-psikologis pada Dinas Kesehatan atau RS Pemerintah, juga memberikan sarana pekerjaan dan tempat tinggal melalui Kemensos atau Dinsos.
Begitu juga masyarakat, yang bisa memberikan bantuan pertama kepada korban termasuk membantu korban ke RS atau kantor polisi. "Perlindungan dan pemenuhan hak korban perlu keterlibatan berbagai pihak, dikarenakan layanan kepada korban kompleks tidak bisa sepotong-spotong,'' ujar Haris.
Wakil Ketua LPSK, Lies Sulistiani mengungkapkan, selama Januari-Juni 2016, LPSK sudah menerima 956 permohonan perlindungan, dimana 31 diantaranya permohonan perlindungan dari saksi dan korban kejahatan seksual. Sedangkan, untuk layanan perlindungan terkait kejahatan seksual LPSK memberikan layanan perlindungan kepada 42 orang dengan rincian perlindungan fisik sebanyak 21 orang, pemenuhan hak prosedural sebanyak 42 orang, fasilitasi restitusi sebanyak 2 orang, layanan medis sebanyak 20 orang, dan layanan psikologis sebanyak 30 orang.
“Layanan-layanan tersebut menggambarkan bahwa penanganan kejahatan seksual tidak bisa hanya berfokus terhadap pelaku, namun perlu ada perhatian atas hak korban,'' kata Sulistiani.
Lies yang juga penanggung jawab Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban LPSK menyatakan, banyaknya kendala yang ditemui dalam melindungi korban kejahatan seksual. Kendala yang sering muncul adalah fakta mayoritas pelaku adalah orang dekat yang tidak jarang merupakan tulang punggung keluarga.
“Pada kasus di Buntok, LPSK memberikan pula bantuan biaya hidup sementara untuk korban dan dan ibu korban,'' urai Lies.