REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia khusus Rancangan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme akan tetap memasukkan mekanisme pengawasan pada Detasemen Khusus 88 (Densus 88). Pansus jalan terus meski calon Kapolri Komjen Muhammad Tito Karnavian menolak pembentukan tersebut saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI.
Wakil Ketua Pansus UU Terorisme, Hanafi Rais mengatakan, dalam rapat dengar pendapat umum yang sudah dilakukan Pansus Terorisme, semua pihak yang diundang menyatakan perlunya pengawasan pada Densus 88. Terlebih, dalam draf perubahan UU tersebut menyatakan adanya penambahan wewenang Densus untuk dapat menindak tanpa harus ada bukti hukum terlebih dahulu. Tim pengawas dibutuhkan untuk mengimbangi kinerja Densus 88 agar tetap akuntabel dan bertanggungjawab.
“Saya berpendapat timwas untuk Densus sangat diperlukan,” kata Hanafi pada Republika.co.id, Jumat (24/6).
Terkait penolakan Tito, menurut Hanafi Polri harus memiliki alternatif solusi. Calon Kapolri tidak dapat melakukan penolakan, terlebih alasan yang didasarkan untuk penolakan itu tidak tepat. Dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri di Komisi III, Tito beralasan pembentukan tim pengawas Densus akan membebani anggaran negara. Sebab, dibutuhkan struktur dan badan baru untuk menjalankan fungsi pengawasan itu.
Hanafi menegaskan, di semua negara, seluruh aparat yang menanggulangi masalah terorisme juga tetap diawasi. Jadi, menurut Wakil Ketua Umum PAN ini, kalau Densus merasa profesional tidak perlu khawatir untuk diawasi.
Hanafi mencontohkan, Badan Intelijen Negara (BIN) yang tidak memiliki fungsi eksekusi juga memiliki tim pengawas khusus yang diatur dalam UU Intelijen. Terlebih Densus yang memiliki kewenangan langsung untuk melakukan penindakan serta pencegahan.
“Kalu memang profesional, maka tak perlu khawatir dengan kehadiran timwas. Timwas Densus adalah bagian dari reformasi sektor keamanan yang belum selesai,” kata dia.