REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hubungan presiden ketiga Republik Indonesia, Bachruddin Jusuf Habibie dan presiden kedua Soeharto tidak semata pada saat keduanya sama-sama menjalankan pemerintahan di ujung kejayaan Orde Baru. Tapi jauh sebelumnya, Soeharto terekam dalam ingatan Habibie ketika mengurus jenazah ayah Habibie, Alwi Abdul Jalil Habibie.
Habibie menceritakan, pada 1950, ayahnya jatuh pada saat memimpin shalat isya. Saat itu, ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardojo sedang mengandung tujuh bulan dan Habibie baru berusia 13 tahun. "Waktu ayah saya mengatakan ‘Allahu akbar’, jatuh di atas sajadah. Meninggal," kata Habibie kepada Republika.co.id, awal pekan ini.
Kakak kandung Habibie kemudian berlari mencari bantuan untuk ayahnya. Datanglah seorang dokter bersama Soeharto yang pada saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel (Letkol). Mereka berusaha menolong ayahanya Habibie.
"Tidak mampu lagi (diselamatkan). Pak Harto yang menutup mata ayah saya," kata Habibie.
Habibie mengatakan, di depan banyak orang Ibunya bersumpah. "Ia bilang, saya sumpah kepada Allah, saya akan jadikan anak yang tertua dan dalam kandungan saya menjadi manusia yang berguna bagi agama dan negara dengan tangan saya sendiri," kenang Habibie. Sumpah yang kemudian membuat sang ibu menolak beasiswa untuk studi Habibie ke Jerman.
Sumpah Ibundanya Habibie disaksikan oleh banyak orang. Selain Soeharto, di antara anak muda yang hadir adalah Letkol Kosasih yang belakangan menjadi Duta Besar RI untuk Belanda pada jaman Suehato.
"Ada di bukunya Pak Harto, ditulis (mengenai peristiwa ini)," katanya.
Keterlibatan Soeharto pada peristiwa menyedihkan dalam keluarga Habibie tidak hanya sampai di situ. Sebagai Letkol, Soeharto menjadi seksi repot dalam pemakaman. "Yang inspektur upacara menteri pertanian, karena ayah saya dulu adalah inspektur pertanian, kehutanan, perikanan dari seluruh wilayah Indonesia timur," kata Habibie.