REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ummat Islam di Bali disarankan tidak lagi memperuncing masalah khilafiah. Karena, kata penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, Roichan Muhlis, masalah khilafiah sudah lama tidak dipermasalahkan di lagi.
"Masalah-masalah furuiyah 50 tahun lalu sudah tidak menjadi penghalang lagi bagi persatuan ummat Islam di Bali," ungkap Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, Roichan di Denpasar, Jumat (24/6) petang.
Menurut Roichan, ummat Islam di Bali sangat akur dan satu sama lain saling membantu. Saat pembangunan Masjid Baiturrahman, Kampung Jawa beberapa puluh tahun lalu sebut Roichan, dia selaku sekretaris Muhammadiyah Daerah Badung ikut membantu mengurus izin dan penggalian dananya. Padahal sebut Roichan, masjid itu sejak awal diketahui sebagai milik Nahdiyin.
Sebaliknya, sebut Roichan, saat warga Muhammadiyah membangun SD Muhammadiyah, warga Nahdiyin di Denpasar juga ikut membantu menyumbang dana. Bahkan sampai sekarang katanya, banyak anak-anak Nahdiyin yang disekolahkan di sekolah Muhammadiyah. "Kami sudah sejak lama sangat akur, tidak lagi mempersoalkan masalah-masalah khilafiyah," kata Roichan.
Karena itu, sebut Roichan, dia heran, bila ada ustaz-ustaz muda yang belakangan datang ke Bali, kembali mempersoalkan masalah-masalah khilafiyah. Padahal dulu sebutnya, Ketua MUI Bali, HSH Adenan yang juga ketua umum PW Muhammadiyah Bali, saat diminta menjadi imam shalat di kalangan warga Nahdiyin, dia shlah Subuh dengan berqunut.
"Ummat Islam di Bali seharusnya memperkuat persatuannya, agar saat tampil dengan ummat lain memnyelesaikan masalah bangsa, bisa tampil dengan full power," kata salah seorang anggota Forum Komunikasi Ummat Provinsi Bali (FKUB) itu.