REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Antropolog Universitas Indonesia Semiarto Aji melihat sisi lain dari kekerasan yang dilakukan oleh The Jakmania. Kelompok suporter tersebut membutuhkan penyaluran atas perasaan ketertindasan mereka, walaupun tidak selalu begitu.
"Ada perasaan ketidakadilan dan ketertindasan menguat yang mereka alami sehingga ada solidaritas kolektif dan membuat mereka harus mencari jalan keluarnya sendiri," kata Aji, Senin (26/6).
Ia menambahkan kekerasan ini, perlu dilihat persolan sebelumnya. Contohnya ketika mereka menuntut diusut tuntas kasus kematian anggota The Jakmania, Muhammad Fahreza, beberapa waktu lalu. Tewasnya Fahreza diduga karena kekerasan oleh aparat kepolisian, meski polisi membantahnya.
"Saya yakin bukan karena saat itu Persija dalam posisi kalah 0-1. Seandainya menang pun kerusuhan sulit dihindari karena ini bukan mengangkut hasil yang ada di lapangan lagi bagi mereka," katanya.
Aji mengatakan maka tak heran jika dikenal pula adanya kelompok sendiri dalam The Jakmania yang kerap disebut Rojali (Rombongan The Jakmania Liar). Rojali ini, menurut Aji biasanya tak berafiliasi pada keanggotaan resmi The Jakmania.
Baca juga, The Jakmania Ricuh di GBK, Tiga Anggota Polisi Luka Serius.
Rojali seringkali dituduh sebagai biang onar yang memenuhi jalan-jalan raya ibu kita tanpa datang ke stadion untuk menyaksikan Persija. Mereka biasanya berada dalam satu rombongan yang menyewa angkutan umum, hingga memenuhi atap kendaraan, sembari menyanyikan yel.
Karena itu menurut Aji, dibutuhkan kehati-hatian dari setiap pemangku kepentingan dalam menyikapi setiap konteks itu. "Bisa dibilang, The Jakmania tak seperti suporter klub di beberapa kota seperti Bandung dan Surabaya. Mereka masih mencari bentuknya sejauh ini," katanya.