Selasa 28 Jun 2016 07:48 WIB

DPR Buka Kemungkinan Bentuk Pansus Kasus Sumber Waras

Suasana aktivitas di Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta, Jumat (6/11).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Suasana aktivitas di Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta, Jumat (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR membuka kemungkinan untuk membentuk panitia khusus (pansus) terkait pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Kami juga mendengar tadi Bamus (Badan Musyawarah) sudah memutuskan untuk membentuk pansus dari pada kasus Sumber Waras, tapi itu prosesnya mungkin baru selesai baru nanti ditindaklanjuti," kata Ketua Komisi III DPR Golkar Bambang Soesatyo di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Senin (27/6).

Bambang menyampaikan hal tersebut seusai acara buka puasa bersama dengan pimpinan KPK. Komisi III DPR sudah mendengar keterangan baik dari KPK maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) namun KPK menilai tidak ada pelanggaran hukum dalam pembelian lahan seluas 3,64 hektar tersebut sedangkan BPK menyatakan menemukan kerugian negara sebesar Rp 191,3 miliar.

"Tapi saya tidak tahu apa yang dicari pansus. Saya baru dengar dari Bamus tadi akan dibuat pansus Sumber Waras," kata Bambang.

Bamus DPR terdiri atas ketua dan/atau sekretaris 10 fraksi DPR. "Usulan ini dari Bamus, pimpinan dewan. Nah kami sendiri belum mendapat penugasan, tapi yang pasti itu meliputi minimal dua komisi yaitu Komisi III dan Komisi XI karena BPK kan di bawah Komisi XI dan komisi III adalah KPK-nya," tambah Bambang.

Menurut Bambang, DPR juga akan memanggil KPK dan BPK setelah Lebaran agar tidak memperpanjang masalah tersebut. Namun Wakil Ketua Komisi III yang juga Wakil Ketua Bamus Benny K Harman mengatakan Pansus Sumber Waras tidak diperlukan.

"Nanti kita lihat, tidak perlulah itu, apalagi pansus," kata Benny yang juga menghadiri acara buka bersama di KPK.

Benny hanya mempersilakan BPK dan KPK untuk membicarakan kedua perbedaan tersebut. Poin perbedaan penting antara laporan BPK dan KPK adalah pada penggunaan Peraturan Presiden No 40 tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 71 tahun 2012 tentang Penyelnggaraan Pengadan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yaitu pengadaan lahan yang kurang 5 hektar boleh dilakukan negosiasi langsung yang dipergunakan penyelidik KPK.

Hal ini tentu berbeda dengan pendapat BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan DKI Jakarta 2014 yang menyatakan pembelian tanah itu berindikasi merugikan keuangan daerah hingga Rp191,3 miliar karena harga pembelian pemprov DKI terlalu mahal.

BPK mengacu pada harga pembelian PT Ciputra Karya Utama (CKU) kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) tahun 2013 sebesar Rp564,3 miliar. CKU kemudian membatalkan pembelian lahan itu karena peruntukan tanah tidak bisa diubah untuk kepentingan komersial.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement