REPUBLIKA.CO.ID, JATINANGOR -- Setiap menjelang akhir Ramadan dan menuju awal Syawal, tradisi mudik atau pulang ke kampung halaman selalu dilakukan oleh berjuta-juta masyarakat di Indonesia. Arus pergerakan masyarakat dari kota ke desa secara massal dan serentak ini menjadi fenomena menarik setiap tahunnya. Konon, ini hanya terjadi di Indonesia yang merupakan negara Muslim terbesar di dunia.
Dalam pelaksanaan mudik, seringkali terjadi kejadian macet panjang, kecelakaan, layanan transportasi umum yang kewalahan menangani kebutuhan pemudik, juga sejumlah kejadian kriminal yang menyertainya. Namun, semua itu, tidak mengurangi semangat masyarakat untuk tetap melaksanakan mudik.
Kemajuan teknologi komunikasi yang pesat juga tidak menghalangi masyarakat untuk tetap menempuh perjalanan mudik, hingga jauh ke pelosok sekalipun. Jadi, mengapa mudik menjadi tradisi yang kuat hingga saat ini?
Apa yang tetap dan apa yang berubah antara tradisi mudik 20-30 tahun lalu dengan mudik saat ini? Apakah sektor transportasi umum belajar banyak dari pelaksanaan mudik setiap tahunnya? Bagaimana pengaruh akulturasi budaya yang terjadi dalam tradisi mudik terhadap budaya lokal dan nasional? Seberapa dahsyat potensi transaksi ekonomi yang terjadi, dan bagaimana kita memanfaatkannya untuk kemajuan ekonomi nasional?
Untuk membahas hal tersebut, Universitas Padjadjaran (Unpad) menggelar diskusi Unpad Merespons bertema 'Mudik, Antara Tradisi dan Kekinian'. Kegiatan ini diadakan pada Kamis (30/6) pukul 14.00 WIB - 16.00 WIB bertempat di Executive lounge Lt.2 Gedung 2 Kampus Unpad, Jl Dipati Ukur No. 35 Bandung.
Adapun narasumber diskusi ini adalah Dr. H Dedi Taufik, M.Si (Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat), Prof. Dr. Elly Malihah, M.Si (Guru Besar FPIPS Universitas Indonesia), Dr. Ferry Hadiyanto, SE.,MA (Dosen Ekonomi Pembangunan,Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad)n dan Prof. Dr. Dadang Suganda, M.Hum (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Unpad pakar bidang Kajian Budaya).