REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat militer Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi, berpendapat, operasi militer pembebasan tujuh WNI yang disandera Abu Sayyaf menjadi pilihan yang menarik. Sebab, selama ini diplomasi malah membuat mereka merasa mudah mendapatkan uang dari Indonesia.
Muradi mengatakan, selama ini segala pendekatan lunak sudah dilakukan. Namun, jika sampai ada kejadian ketiga seperti ini. Maka hal tersebut sama saja membuat Indonesia tak ada matanya di hadapan kelompok Abu Sayyaf.
"Pendekatan persuasif sudah, dan itu bayar, bukan gratis. Dan enggak ada sejarahnya Abu Sayyaf melepaskan tanpa bayar. Operasi militer menjadi jalan agar mereka ada efek jera," ujar Muradi saat dihubungi Republika.co.id Kamis (30/6).
Apalagi, menurut Muradi Menteri Pertahanan sudah dapat previlage dari pihak Filipina untuk masuk melakukan operasi militer. Muradi mengatakan, pilihan ini lebih baik daripada diplomasi.
"Ini kan jadi opini enggak bagus kalau kita bayar-bayar terus. Operasi pengejaran harus dilakukan. Kemudian, pemerintah bisa melakukan penetrasi. Biar juga enggak ada kubu-kubu penyelesaian lagi. Kalau gini, negara kelihatan kerjanya," ujar Muradi.
Dalam operasi militer sendiri, Muradi tak menampik kemungkinan adanya jatuh korban. Namun, hal ini bisa menunjukkan kepada internasional bahwa Indonesia bukan negara yang lemah. Ia mengatakan, TNI juga mempunyai standar operasi yang bisa dilakukan dengan meminimalkan korban.
"Kalau sama Cina kita berani, kenapa sama Abu Sayyaf enggak berani? Korban pasti. Kita punya standar untuk melakukan operasi. Ini tetap terukur," ujar Muradi.
Lebih jauh lagi, momen ini menurut Muradi juga bisa sebagai ajang menguji bagi pasukan antiteror seperti Denjaka Gultor, Den Bravo, dan Denjaka dalam melakukan penanganan antiteror.