REPUBLIKA.CO.ID, MUMBAI -- Aktivis pembela hak pekerja India belum lama ini menyatakan kekhawatirannya atas produksi telepon genggam pintar murah seharga empat dolar Amerika Serikat yang dapat mengancam kesejahteraan buruh pabrik.
Meski demikian, produsen gawai berdalih, harga murah dimaksudkan agar penduduk miskin dapat memiliki telepon genggam, walaupun jumlahnya di pasar hanya 10 persen. Kelompok pembela hak buruh khawatir, telepon seluler dan komputer tablet murah dapat mengancam hak para pekerja di India, negara dengan pertumbuhan pasar telepon pintar tertinggi di dunia.
Telepon bernama Freedom 251, produksi Ringing Bell, diluncurkan pada Februari lewat laman perusahaan itu seharga 251 rupee. Ponsel itu dianggap sebagai telepon pintar dengan sistem operasi Android termurah di dunia.
Direktur pelaksana Ringing Bell, Mohit Goel mengatakan distribusi pertama untuk 200 ribu telepon akan dilaksanakan pekan depan. Perusahaan itu mengaku telah memberi gaji yang sepadan bagi para pekerjanya, mengingat model yang lebih mahal akan membantu menutup ongkos produksi telepon seharga empat dolar AS itu.
"Misi kami adalah membuat telepon terjangkau oleh jutaan rakyat miskin di India yang tak memiliki alat itu," kata Goel.
India telah menjual 103 juta telepon seluler pada tahun lalu, angka itu meningkat sebanyak 29 persen dibanding periode tahun sebelumnya. Negara itu memiliki pasar yang cukup potensial, pasalnya hanya satu dari 10 penduduk India memiliki telepon genggam.
Meski nyatanya, pihak tersebut menempati kalangan bawah yang pasarnya sudah diisi banyak produsen telepon merek lokal dan asing dengan harga kompetitif sekitar 25 dolar AS. Namun, tekanan untuk membuat telepon murah sering berdampak pada kecilnya upah bagi pekerja.
Hal itu banyak dilakukan melalui kontrak kerja murah dan tuntutan lembur yang tak dibayar, kata aktivis. "Pihak produsen bertanggung jawab atas rantai produksi dan kondisi pekerja. Regulasi negeri ini tidak cukup menjamin hak buruh di industri elektronik," ujar Gopinath Parakuni, Sekretaris Umum Cividep, kelompok pembela hak buruh.
Cividep dan grup pembela hak buruh industri elektronik Amsterdam, GoodElectronics melansir laporan pada bulan lalu, Samsung Electronics, perusahaan paling unggul di pasar telepon genggam India diduga memberi gaji tak sepadan bagi para pekerjanya.
Perusahaan itu juga dianggap tak memberi ruang perundingan yang efektif bagi para buruh. Juru bicara Samsung India mengatakan, perusahaan telah memenuhi seluruh regulasi terkait tenaga kerja dalam operasi bisnisnya.
"Keadilan dan penghormatan atas nilai merupakan dasar yang membentuk bisnis kami," ungkap juru bicara itu.
Perlu diketahui, sekitar 100 produsen telepon genggam India mengimpor produknya dari Cina dan Taiwan. Alhasil, Perdana Menteri Narendra Modi memprakarsai gerakan "Dibuat di India" pada 2014 guna mengatasi derasnya laju impor produk Cina.