REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa petugas pengawas perbatasan Inggris menjaga Alaa Ahmad menyelesaikan perjalanannya dan menghabiskan sembilan bulan tinggal di kamp pengungsi 'hutan' di kota Calais, Prancis.
Ahmad, seperti banyak pengungsi lain di kamp yang mengikuti kampanye terkejut dengan hasil referendum pekan lalu. Pengungsi Suriah itu takut akan ada kebijakan anti imigrasi yang muncul setelah Brexit, gabungan Britain dan exit.
Inggris dan Prancis memiliki Perjanjian Touquet yang dicapai pada 2003. Perjanjian ini memungkinkan setiap negara untuk melakukan pemeriksaan paspor di tanah negara lain.
Menurut politikus Prancis di Calais dilansir dari New Statesman, perjanjian ini telah mempercepat pertumbuhan kamp 'hutan' yang saat ini menampung sekitar 5.000 pengungsi.
Karena perjanjian ditandatangani di luar naungan Uni Eropa, Brexit tidak mempengaruhi legitimasi hukumnya. Menteri Dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve juga telah mengatakan, tidak akan ada perubahan status-quo meski Brexit.
Namun bagi Prancis, anggota Uni Eropa sangat penting untuk menegaskan kembali sifat perjanjian. Para pejabat lokal di wilayah Calais ingin perjanjian dinegosiasi ulang.
"Perjanjian Touquet adalah perjanjian bilateral. Jadi tidak akan ada pemerasan atau ancaman, tapi itu besar bahwa bekerja sama lebih mudah jika keduanya menjadi anggota Uni Eropa,"kata Sekretaris Negara Prancis untuk urusan Eropa Harlem Desir awal tahun ini.
Jika ada perubahan dan petugas perbatasan Inggris mengirim pengungsi kembali ke Inggris, pengungsi di Calais bisa melakukan perjalanan ke wilayah Inggris tanpa hambatan dan menghadapi pengawasan perbatasan.
"Pada awalnya saya pikir hasilnya akan melawan pisah dari Uni Eropa. Ini tidak baik bagi orang-orang Inggris, akan ada sedikit pekerjaan dan pelemahan ekonomi," katanya kepada Al Jazeera.
Ammar, warga Suriah dari kamp Calais mengaku cemas dengan apa yang akan terjadi akibat Brexit. "Mungkin mereka akan mengubah hukum terhadap kami," katanya.